Nusa Penida merupakan salah satu gugusan pulau
yang terletak disebelah tenggara Bali yang terpisah selat Badung. Secara administrasi wilayah Nusa Penida masuk Kabupaten Klungkung. Potensi
Nusa Penida sangat luar biasa, baik alamnya maupun budaya. Selama ini Nusa Penida terkenal akan tari
baris jangkang pelilit dan makanan khasnya yakni ledok. Namun masih banyak warisan budaya yang dimiliki Nusa Penida belum dikenal. Berikut ini warisan budaya
khas Nusa Penida antara lain :
1. Tari Gandrung
Bungunurip Desa Batukandik
Tari
Gandrung Bangunurip berkaitan erat dengan sejarah adanya Banjar Bangunurip.
Pada jaman dulu di sebelah tenggara pulau Nusa Penida terdapatlah sekelompok
orang yang mendiami wilayah tersebut. Mereka bisa menjalani rutinitas sebagai
petani. Pada musim penghujan mereka bercocok tanam, ada yang menanam ketela,ubi,
Semangka dan tanaman yang lain. Setelah beberapa bulan tanaman mereka tumbuh
subur dan berbuah lebat. Suatu hari salah seorang dari mereka melihat buah
semangkanya banyak yang hilang dan rusak. Petani itu marah siapa gerangan yang
mengambil dan merusak buah semangka saya. Keesokan harinya dia berjaga dan
sembunyi di kebunnya untuk melihat siapa yang mengambil dan merusak buah
semangkanya, tak lama berselang datanglah seekor burung raksasa yang sangat
besar hinggap di kebun petani itu, dan memakan buah semangka miliknya. Kemudian
petani itu pulang untuk mengambil tali (benang), karena dia penasaran kemana
buah semangkanya dibawa oleh burung itu, kemudian dia mengikatkan dirinya pada
‘’tegil’’ ( tanduk kaki burung) brung raksasa itu. Setelah kenyang burung itu
pun terbang bersama petani kearah selatan hingga tiba disebuah telaga. Burung
itu pun turun minum segera petani itu melepas tali ikatan pada kaki burung itu
dan ikut meminum air telaga itu sekalian untuk dibawa dalam perjalanan nanti
dengan mengunakan tempat seadanya yaitu “papuhan” (tempat kapur sirih).
Keesokan
harinya burung itu lagi terbang mendatangi kebun yang berisi buah semangka
milik petani itu. Petani itu segera mengikat dirinya pada kaki burung itu, tibalah
dikebun semangka. Petani melepaskan ikatannya dan bergegas [ulang, dalam
perjalanan pulang dia haus dan akan meminum air telaga yang diambilnya ketika
dia membuka tutup papuhan, airnya sedikit tumpah dan mengenai batang kayu yang
mati didekatnya, tiba-tiba batang kayu itu tumbuh kembali, petani itupun heran
dan segera membawa air itu pulang. Suatu hari ada warga yang sakit kemudian dia
mencoba memperciki dengan air tersebut orang itupun lekas sembuh. Berita itu
tersebar luas sehingga banyak orang
sakit berdatangan untuk meminta pertolongan dari petani tersebut, hingga berita
itu sampai pada raja Klungkung. Tempat petani itu dikenal dengan nama Banyu Urip.
Sang raja memanggil petani untuk menghadap kekerajaan Klungkung dengan membawa
air tersebut (Banyu Urip) kemudian banyu urip itupun diambil oleh sang raja. Setibanya
di Banyu Urip petani itu menyampaikan kepada anak-anaknya bahwa air tersebut
telah diambil oleh sang raja, supaya pengobatan yang dilakukan oleh petani itu
kemudian dia membangun kesenian berupa tari yang disebut Tari Gandrung. Tari
Gandrung di tarikan oleh dua orang anak laki-laki yang belum menginjak dewasa
dan seorang “Banyol” (pelawak) sebagai penari, selesai menari si penari
gandrung ini mengunyah daun sirih, buah pinang, kapur sirih dan gambir.
Kemudian air kunyahan itu akan di oleskan pada orang yang sakit oleh “banyol”
(lawak) dengan sarana upakara pras pejati lengkap dengan canang pitulikuran.
Air sirih itu sebagai ganti dari Banyu Urip yang telah diambil sang raja dan
itu telah dibuktikan berkali-kali oleh masyarakat yang sakit di Desa Batukandik
pada khususnya dan Nusa Penida pada umumnya.Sejak saat itu Banjar Banyu Urip di
kenal dengan Bangunurip sampai dengan sekarang. Setelah meninggal penemu ini di
kubur di pura Geria Banjar Adat Bangunurip, Desa Pekraman Batuykandik, dengan
nama Ida Pandita Empu Dharma Sujati, karna semasa hidupnya beliau sudah di
sucikan (medwi jati/mediksa).
2.
Tari Baris
Pati Pulaga Desa Kutampi
Diceritakan
di suatu tempat
di Desa Kutampi
tepatnya di Banjar Pulaga atau yang lebih dikenal Banjar Pulaga. Akibat para
migrant yang datang dari berbagi klen atau pasemetonan
sehingga sering terjadi perpecahan yang menimbulkan
percekcokan. Hingga pada suatu ketika
salah seorang tetua mendapat
pawisik agar mendirikan
tempat
pemersatu
atau tempat
perkumpulan
yang sekaligus sebagai tempat persembahyangan
bersama.
Tempat
yang tepat adalah di tempat
pohon pule besar dikelilingi Sembilan bamboo serta dua bongkahan batu yang mirip altar.
Agar
seluruh warga mendapat
keselamatan
tidak terkena wabah penyakit atau pastu keramat maka sebagai
gantinya diadakan persembahan
tari songo bamboo atau tari Sembilan bambu. Tari ini sering disebut tari bari
pati pulaga. Tari ini merupakan
tari pengganti laskas Sembilan, bambu yang mengelilingi
pohon pule besar. Lascar ini dipimpin oleh dua pemimpin yang
disebut kadean sebagau simbul dua bongkah batu altar atau
batu tempat
persembahan
untuk memohon keselamatan. Tari
baris pati pulaga menggambarkan latihan
perang agar mampu menghadapi
lawan sebagai bentuk perlawanan terhadap keajahatan.
3.
Permainan Tradisional
"METULUD"
di Desa Kumpi Kaler
Metulud
adalah salah satu permainan tradisional yang mempergunakan bambu sebagai alat
permainan. Dengan ukuran tertentu sebagai alat mengadu kekuatan untuk saling
mendorong antara regu yang satu dengan regu lainya. Permainan metulud cara bermainnya bertolak
belakang dengan tarik tambang, dimana tarik tambang saling tarik sedangkan
metulud kedua regu saling mendorong sekuat tenaga untuk meraih kemenangan.
Metulud
berasal dari kata tulud yang artinya dorong, jadi permainan tradisional metulud
ini saling dorong satu regu dengan regu lainya. Metulud dimainkan secara
beregu, baik putra maupun putrid. Jumlah angggota regu sebanyak 7 orang yang
terdiri dari 5 pemain dan dua cadangan. Hampir sama dengan permainan
tradisional lainya, metulud mengalami pergeseran digempur globalisasi. Jarang
ada warga atau anak-anak yang mau bermain tradisional.
Permainan tradisional metulud ini dilakukan di arena berumput dan memiliki permukaan
yang datar/rata. Area metulud merupakan
area petak persegi panjang yang mempunyai ukuran 2 meter X 18 meter. Garis
tengah dibuat untuk membagi dua lapangan dengan sama panjang. Area serang
dibatasi oleh garis pembatas dengan jarak 2,5 meter dari garis
tengah. Garis serang ini merupakan garis batas kaki pemain paling depan. Seluruh
garis pembatas lapangan sebaiknya dibuat dari kapur saja.
Peserta dinyatakan sebagai pemenang, apabila salah satu regu
dapat mengalahkan regu lain dengan score 2 – 0 atau 2 – 1 (kalau terjadi seri).
Interval antara dorongan pertama dan kedua adalah 3 menit, dan apbila terjadidraw (seri)
diberi waktu 5 menit. Apabila terjadi pelanggaran, 3 orang pemain keluar dari
garis samping, secara otomatis regu tersebut dinyatakan kalah.
Bambu yang dipergunakan dalam permainan olahraga tradisional ini
adalah menggunakan bambu yang mempunyai ketebalan dan kekuatan yang
dipersyaratkan. Tidak diperkenankan menggunakan bamboo dengan diameter yang
terlalu kecil dan mudah patah, karena dapat membahayakan seluruh pemain. Bambu
yang dipergunakan minimal berdiameter 12 cm – 18 cm dengan ukuran panjang 5 m –
8 m.
Persyaratan Permainan Tradisional Metulud
Persyaratan permainan ini dipakai saat pelaksanaan Invitasi
Olahraga Tradisional Se Jawa Timur tahun 2012 di Kabupaten Jember, adalah
sebagai berikut :
1. Satu regu terdiri dari 5 orang pemain ditambah 2 pemain
cadangan;
2. Jarak garis
kemenangan yaitu 2, 5 m. Team yang berhasil mendorong melampaui garis dinyatakan sebagai pemenang;
3.
Pemain dinyatakan sebagai pemenang jika 2 kali memenangkan
pertandingan, apabila punya nilai sama (draw) diulang dengan istirahat 5 menit;
4. Team yang keluar dari batas lintasan di diskualifikasi;
5. Team
yang memutar bambu di diskualifikasi;
6 Jika
kedua team sama – sama keluar dari garis batas, maka pertandingan diulang.
Oleh
: Santana Ja Dewa
0 comments:
Post a Comment