pantai Atuh dijuluki "Raja Lima " (foto/begi)
Dulu, pulau kecil kawasan Atuh tidak ada yang menghiraukan kecuali warga lokal yakni Dusun Pelilit, Dusun Karang dan Cemlagi melihat pulau-pulau kecil disekitar pantai Atuh adalah pemandangan sehari-hari. Mulanya mereka melihat ini sebagai sesuatu yang biasa saja.Toh walaupun masyarakat sekitar Atuh mendatangi bongkahan batu itu, mereka sedang melakukan kegiatan sehari-harinya. Memancing atau ada upacara keagamaan.
Kini berbeda, sejak pulau-pulau kecil ini di foto, dipotret dengan berbagai sudut, jadilah viral, ramai. Orang berdatangan menontonnya, menyatakan tempat ini indah. Bongkahan-bongkahan batu yang semula biasa, disebut luar biasa indah.
Masyarakat Pelilit, Cemlagi, Karang dan Nusa Penida yang semula selalu sering sensi karena pulaunya sering disebut pulau berbatu dan kurang air kini merasa lega, bangga.
Mereka bangga bongkah-bongkahan batu telah memikat banyak orang dari jauh untuk melihatnya. Kini di Nusa Penida kalau di grafikkan ada peningkatan kadar rasa.
Dari tadinya merasa diri menjadi masyarakat kelas dua, naik menjadi jengah, jengah menjadi bangga. Kuluban gayot saja dulu disebut dengan sedikit satir memakan akar kayu, kini malah disuguhkan kepada para tamu sebagai makanan khas yang disenangi.
Bunga gamal yang dulu tidak terlalu diperhatikan, kini menjadi bunga penyambut tamu. Bongkahan batu yang gersang itu dinamai dengan nama bule dan menyedot banyak pengunjung.
Hanya seperti saudara tuanya Bali daratan, Nusa Penida perlu waspada. Biasanya bangga yang berlebihan akan membuat terlena, lambat laun kalau tidak dijaga sampah melimpah, kriminal meningkat, kepemilikan tanah mulai berpindah ke warga luar.
Bangga tidak cukup akan Sumber daya alam yang kini menjadi perhatian, tetapi sadar dengan bangga akan sumber daya manusia Nusa Penida.
Berdaya dan berupaya adalah kunci, menjaga lingkungan dan ikut mengambil bagian akan pariwisata yang berkelanjutan harus menjadi agenda pemerintah, masyarakat dan pengusaha.
So bongkahan batu ini telah menjadi mutiara yang ditonton mengalahkan artis terkenal, bahkan "tarian keindahannya" tidak membosankan.(*yansu)
Mereka bangga bongkah-bongkahan batu telah memikat banyak orang dari jauh untuk melihatnya. Kini di Nusa Penida kalau di grafikkan ada peningkatan kadar rasa.
Dari tadinya merasa diri menjadi masyarakat kelas dua, naik menjadi jengah, jengah menjadi bangga. Kuluban gayot saja dulu disebut dengan sedikit satir memakan akar kayu, kini malah disuguhkan kepada para tamu sebagai makanan khas yang disenangi.
Bunga gamal yang dulu tidak terlalu diperhatikan, kini menjadi bunga penyambut tamu. Bongkahan batu yang gersang itu dinamai dengan nama bule dan menyedot banyak pengunjung.
Hanya seperti saudara tuanya Bali daratan, Nusa Penida perlu waspada. Biasanya bangga yang berlebihan akan membuat terlena, lambat laun kalau tidak dijaga sampah melimpah, kriminal meningkat, kepemilikan tanah mulai berpindah ke warga luar.
Bangga tidak cukup akan Sumber daya alam yang kini menjadi perhatian, tetapi sadar dengan bangga akan sumber daya manusia Nusa Penida.
Berdaya dan berupaya adalah kunci, menjaga lingkungan dan ikut mengambil bagian akan pariwisata yang berkelanjutan harus menjadi agenda pemerintah, masyarakat dan pengusaha.
So bongkahan batu ini telah menjadi mutiara yang ditonton mengalahkan artis terkenal, bahkan "tarian keindahannya" tidak membosankan.(*yansu)
0 comments:
Post a Comment