Sang Pelaut

Sang Pelaut
Berpacu dalam gelombang mengarungi laut getir seorang nelayan. Berselimut dingin beratap langit sudah biasa santapan sehari-hari, fajar waktu saat para pencari ikan beraksi meluarkan berbagai jurus. Hembusan angin pagi menusuk tulang tidak dihiraukan, gelombang kadang-kadang lembut, kadang kasar tergantung hatinya. Sementara yang lain masih dalam mimpi, kaki melangkah gagah menuju pantai. Suara sumbang tak jelas memanggil dari kejauhan pertanda rekan nelayan sudah berselancar.

Pelecut semangat mengarungi kehidupan dijalankan walau terkadang hasilnya tidak memuaskan kadang kala apes. Tidaklah seperti sekarang lebih mudah dibantu teknologi, kecerdasan membaca situasi alam telah digariskan dari pendahulu sebelumnya. Seperti Marcopolo mengarungi samudra begitu yang dilakukan nelayan Nusa Penida, pemberani, tangguh. Suasana gelap mata mereka tajam melihat situasi laut.

Nenek moyangku seorang pelaut pribahasa tepat bagi nelayan Nusa Penida, leluhur telah menjadi guru mereka. I Dewa Made Urya salah satu nelayan pesisir Nusa Penida. Sejak kecil akrab dengan pantai, sehari-hari waktunya dihabiskan bermain di pantai. Kulit seperti tembaga ciri khas, sekolah pun terabaikan.
Penuturan teman seangkatanya, dia adalah salah satu siswa paling mundur kemampuan akademik tapi bila berurusan dengan laut dialah jagonya. Berbagai gaya renang dikuasainya, menyelam juga sangat ahli bertahan lama dalam air ketimbang dari temannya.

Kekurangan pasti ada kelebihan begitu juga Urya pelajaran seni paling dia suka terutama bernyanyi lagu keroncong. Ketika guru kesenian memasuki ruang kelas dengan semangatnya dari guru yang lainya. Temannya pun mulai menunjuk dia bernyanyi di depan kelas. Rasa grogi hilang seketika, lagu keroncong yang hits pada waktu itu jadi pilihannya. Riak-riak dan tepuk tangan teman suasana ruang kelas meriah.

Namun sayang, Urya berhenti sekolah keasyikan bermain di pantai penyebabnya. Anak dari alm. I Dewa Kantun atau lebih populer dipanggil Dewa Sampan dan Ibu Jro Gelgel putus sekolah. Temen-temen menuntut ilmu di sekolah sementara dirinya menuntut ilmu kelautan bersama guru ayahnya sendiri. Perlahan usia 15 tahun merasa cukup ilmu dia sendiri melaut tanpa didamping gurunya. Senang, bercampur was was menjelajah laut ketika kail disambar ikan rasanya seperti durian jatuh dari langit bergegas sigapnya berjibaku bertarung dengan ikan.

Beranjak dewasa pengalaman adalah guru paling mempengaruhi ilmu kelautan. Candi Dasa, Karangasem dan Pulau Lombak pernah dia singgahi, cuaca memaksa singgah disana. Keseringan singgah disana dia punya sahabat dari Candi Dasa. Persahabatan mereka melebihi saudara, saling bantu tanpa memikirkan kepentingan ego mengalir begitu saja.

Penyakit hippatitis menyerang dia memaksakan dirinya berhenti sebagai nelayan. Bergutak dengan penyakitnya tidak berdaya dan lemah dia rasakan hingga menghembuskan nafas terkahir. Kebetulan waktu itu situasi Indonesia diguncang hebat krisis ekonomi tepat tanggal 14 Agustus 1998.

" Kesederhana, polos dan sedikit bicara ngga neko-neko. Orangnya penurut, " kata rekan nelayan.

Santana Ja Dewa, 7-5-2016


Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.