Pendidikan merupakan salah satu wahana pembentuk karakter bangsa, hal mendasar yang selalu menjadi permasalahan “kompleks” ditengah derasnya tantangan global. Sekarang ini kita telah masuk kedalam lingkaran Masyarakat Ekonomi Asean, sehingga tantangan dunia pendidikan pun menjadi semakin besar, terutama persoalan terkait penuntasan “hak-anak” untuk mendapat kan pendidikan yang layak.
Jikalau memperhatikan dengan seksama realitas di sekitar kita, banyak anak – anak yang putus sekolah karena berbagai sebab, salah satunya karena faktor ekonomi; orang tua tidak mampu membiayai sekolah. Anak – anakpun terpaksa bekerja demi membantu kehidupan keluarga (permasalahan yang banyak terjadi di daerah, desa atau wilayah tertinggal). Atau bisa juga kita saksikan fenomena anak – anak yang hidup di jalanan seiring tumbuhnya kota – kota di indonesia yang jauh dari nuansa pendidikan. Tidak hanya putus sekolah, anak – anak tersebut rawan terjerumus dalam berbagai tindak kriminal, kurir narkoba hingga perdagangan orang. Pertanyaannya tentu merujuk pada, sejauh mana tanggung jawab sosial kita terhadap dunia pendidikan anak?. Dan jangan berharap atas keniscayaan meraih predikat sebagai bangsa yang maju dan berkembang, apalagi mimpi tentang kesejahteraan, disaat kehidupan masyarakatnya tidak memiliki kualitas pendidikan yang baik. Terutama pendidikan untuk anak yang kita yakini kelak merekalah pemegang tongkat estafet kehidupan ini.
Menurut kajian kerjasama oleh Kementrian Pendidikan, UNESCO dan UNICEF tahun 2011 menunjukkan bahwa 2,5 juta anak usia 7-15 tahun masih tidak dapat bersekolah. Pendidikan putus di tengah jalan disebabkan karena berbagai kondisi yang terjadi dalam kehidupan, salah satunya disebabkan oleh lemahnya ekonomi masyarakat. Kondisi ekonomi seperti ini akan menghambat bagi anak - anak untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Sehingga diperlukan kepedulian dan kerjasama semua sektor untuk ikut terlibat-aktif dalam menuntaskan persoalan terkait pendidikan anak indonesia.
Bersandar pada Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 (yang berbunyi : (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya) tentu kita akan berfikir bahwasanya persoalan terkait pendidikan dapat diselesaikan oleh pihak pemerintah. Tapi kenyataannya berbicara lain, persoalan pendidikan hingga saat ini belum bisa terselesaikan, tuntas. Hampir di setiap tempat terdapat anak-anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan. Sunguh terasa miris sekali saat memperhatikan realitas ini, dan apabila kita lemparkan pada fungsi nilai sosial yang kita emban tentu hal ini menjadi bagian dari tanggung jawab kita bersama.
Tanpa menisbikan elemen persoalan lainnya terkait pendidikan anak (semisal; mahalnya biaya pendidikan, lemahnya infrastruktur dan fasilitas pendidikan,dan lainnya) permasalahan pertama dalam dunia pendidikan anak adalah persoalan kesempatan; Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Dititik kesadaran inilah program For The Children, For A Better World; 1001 Kesempatan Pendidikan Untuk Anak Indonesia pada peringatan Hari Anak Nasional 2016 sengaja diketengahkan. Tujuannya jelas, untuk memberikan kesempatan bagi anak agar mendapatkan pendidikan, anak yang terancam dan bahkan yang sudah putus sekolah untuk dapat kembali bersekolah, dan juga untuk menggugah kesadaran masyarakat tentang pentingnya untuk saling peduli, terutama perihal pendidikan anak yang lebih baik.
Program kegiatan For The Children, For A Better World; 1001 Kesempatan Pendidikan Untuk Anak Indonesia merupakan sebuah kegiatan Pameran Amal (Art For Charity Exhibition) dan Art For Children yang men-sinergiskan hubungan antara aktivitas kesenian (seni rupa) dengan dunia pendidikan anak Indonesia. Tentu pertanyaannya kenapa Seni, khususnya Seni Rupa? Mengutip pernyataan Rudolf Baranik; “Kesenian boleh jadi bukan alat penyadaran yang paling baik yang bisa digunakan, namun demikian kesenian dapat menjadi mitra yang kuat daya dukungnya dalam proses penyadaran, karena dapat bertutur dengan bahasa yang khas ke dalam pengalaman kesadaran penikmatnya”.
Dalam seni rupa setidaknya terdapat 3 hal mendasar yaitu: Faktor estetika , faktor makna (meaning of life), dan faktor nilai ekonomi (economic velue). Faktor estetika dalam konteks ini dapat kita lihat sebagai salah satu pilihan bahasa (bahasa visual;rupa) yang dapat melintasi batasan level kehidupan sosial, sehingga bahasa seni dapat masuk dalam berbagai lapisan masyarakat.
Berikutnya adalah persoalan makna (meaning of life), daya kreativitas dalam proses penciptaan karya seni bersandar pada penjelajahan setiap seniman dalam menghadapi persoalan kehidupan untuk mendapatkan suatu makna/nilai yang bisa bersifat subyektif maupun universal. Disini dinamika.
Kepekaan dimata perupa Bali tentang masalah pendidikan anak serta tidak kekerasan yang terjadi semakin tidak terbendung bahkan semakin beringas tanpa memikirkan dampak trauma yang diderita anak-anak. Rasa iba tersebut peruba Bali menuangkan sebuah karya seni diantaranya Made Djirna, Nyoman Sujana Kenyem, Putu Sudiana Bonuz, Ida Bagus putu Purwa, Ketut Sugantika, Made Wiradana, Ketut Teja Astawa, Wayan Suastama, Made Galung Wiratmaja.
Pendidikan dan kesempatan bermain ditempat terbuka seakan sebuah mimpi ditengah himpitan kebutuhan sebuah kota. Ruang bermain mereka ditelan bumi, bermain dan berinteraksi dengan semesta sudah bergesar dengan pengaruh global. Entah dibilang mengikuti perubahan itu sendiri, namun kepekaan terhadap teman mulai tidak sempati lagi hanya mementingakn ego sendiri justru akan berdampak parah terhadap perkembangan anak. Kebersaman sebuah barang mahal yang sulit ditemukan, jangan bilang peduli terhadap lingkungan sikap cuek tumbuh semakin subur. Ruang terbuka sangat memberikan angin segar bagi mereka sekedar bercumbu dengan semesta dan rekan-rekan sejawatnya. (*)
0 comments:
Post a Comment