Pemujaan Bhairawa (Cara Persembahan Kuno Memohon Kesuburan)




Oleh ; I Ketut Sandika

Hal pertama muncul dalam pikiran, Bhairawa adalah menyeramkan. Sebuah praktik ritus yang diidentikan dengan hal-hal rajasik dan tamasik. Sebab mengurbankan binatang, mempersembahkan minuman keras, darah dan yang lainnya. Secara harfiah memang kelihatan demikian. Tetapi dibalik semua itu ada simbol magis-mistik yang mengandung pesan kuat bagi para aspiran (pemuja). Sebuah cara mistik kuno yang dipraktikan jauh sebelum peradaban Vedik atau neo hinduisme muncul dan memberi pengaruh. Di India, praktik-praktik Bhairawa dilakukan jauh sebelum perdaban Veda mendiami lembah sindhu. Hingga munculnya wamsa Arya yang membuat Dravida penganut paham Tantra Bhairawa menyingkir ke selatan. Hingga kini India selatan masih mempraktikan cara Tantra Bhairawa yang sama percis dengan praktik-praktik Hindu di Bali. Cara dan kultur mereka berbeda dengan India utara yang sangat kentara dengan perdaban Vediknya.

Bali sendiri lebih dominan pengaruh Bhairawanya. Terlebih ketika masa raja Bali Kuno. Mereka penganut bhairawa yang taat, khususnya mahzab Bima Sakti dan Kalacakra. Artefak di pura Kebo Edan Gianyar dapat sebagai bukti emperik, bahwa Bhairawa memberikan pengaruh kuat terhadap praktik religi orang Bali. Sebab cara Bhairawa adalah sama dengan kultur orang Bali dalam memperlakukan alam. Alam dalam ajaran Bhairawa adalah "ibu kosmik" atau pertiwi sakti dimana beliau dapat memberikan kehidupan semua entitas kehidupan. Bagi orang Bali (ketika itu) alam adalah sesuatu yang maha. Artinya ,maha segalanya sumber kehidupan.

Atas sinergitas ajaran dan keyakinan tersebut, baik Bhairawa dan leluhur Bali sama-sama memperlakukan alam selayaknya citra Dewi yang dimuliakan melalui ritus-ritus alam. Satu hal yang mereka (leluhur Bali) lakukan adalah memuja dewa kesuburan yang dekat di bumi, seperti Dewa Madue Karang, Dewa di Gumi, Dewa Lingga (celakotong sugeng luwih), Ratu Pancering Jagat dlsb. Semua itu adalah phanteon dewa-dewa yang dipuja dengan maksud kesuburan. Kehadiran mahzab Bhairawa justru memberikan penguatan dengan menempatkan Hyang Bhairawa/Bhairawi sebagai dua ikonik/citra dewa dengan saktinya, yakni Hyang Siwa Reka dengan Hyang Bhatari Uma sebagai manifes dari Bhairawa. Untuk diketahui ikonik Siwa dan Uma muncul, sebab bhairawa tantrisme murni mengalir dari Siwa-Uma sebelum terasimilasi atau mengalami sinkritisme dengan mahzab lain.

Jadi pantheon dewa kesuburan yang dipuja pada masa Bali Kuno awal, bukan Dewa Wisnu, terlebih Brahma. Justru era kuturanisme zaman Bali Kuno berikutnya paham Tri Murti ditonjolkan. Cek saja teks tattwa bhuwana kosa, wrshapasti tattwa, ganapati dan sejenisnya adalah teks tattwa siwaistis. Berkenaan dengan itu, pemujaan Bhairawa sesungguhnya adalah pemujaan untuk kesuburan. Kesuburan akan terjadi jika Siwa dan Uma menyatu yang disimbolkan dengan dua penyatuan Bhairawa dan Bhairawi. Selayaknya pertemuan pertiwi dengan akasa melalui hujan hingga tanah subur, pepohonan dapat tumbuh dan manusia hidup. Kemudian hujan saja tidak akan dapat menyuburkan. Lalu bagaimana dengan hama, epidemi? Maka melalui ritual persembahan khusus darah binatang dan minuman keras makhluk (virus) penyebar wabah dapat dineutral.

Lalu mengapa dengan pengorbanan darah dlsb? Bhairawa memang demikian selau menunjukkan cara yang ekstrim. Tetapi cara yang demikian hanyalah sebuah sibol rahasia yang menaglir dari percakapan Bhatara Siwa dan Bhatari Uma. Hewan dipotong dan darahnya di jadikan persembahan pada linggam simbol dari kebuasan hendaknya ditaklukan. Minuman keras dipersembahkan simbol segala kemabukan duniawi hendaknya dipersembahkan atau dikembalikan/dikendalikan. Uang dipersembahkan simbol untuk jangan diperbudak harta kekayaan. Bunga dipersembahkan sebagai bentuk penyucian (ktarsis), buah dihaturkan simbol pengabdian dengan mempersembahkan segala bentuk tindakan. Dupa simbol kebangkitan cahaya, tirtha simbol kehidupan sebagai amrtam. Mantra dan mudra sebagai nyanyian dan gerak simbol keteraturan dari gerak alam. Hidup kalau mau subur ikuti gerak alam sebagaimana ia alami berjalan dalam keteraturannya.

Jadi, persembahan Bhairawa ini merupakan cara magi mistik kuno untuk memohon kesuburan. Haidhakandi Asram Bali sebagai pelanjut tradisi Bhairawa dalam tradisi India hingga kini berupaya menjalankan ritual tersebut dengan kerahasiaan dan kekhidmatannya sendiri. Kehadiran mereka tidak ada maksud mengindianisasi Bali dengan ritualnya, tetapi bersama-sama mendoakan tanah Bali subur dalam keharmonisan. Haidhakandi Asram Bali sering melakukan pemujaan Bhairawa dan Bhairawi yang berlokasi di Ashram Pondok Lamer Pujungan Tabanan Bali. Dengan ritual tersebut, semoga Bali sebagai pelanjut tradisi Bhairawa tetap bertahan dan ejeg dari segala gangguan sekala-niskala. Terpenting dari semua itu, pemujaan apapun, baik Bhairawa, mecaru dan sejenisnya sesungguhnya adalah media penyucian diri agar Siwa berkenan memberikan karunia. Bukan moksa, bukan pula surga dan neraka, tetapi agar diijinkan menurunkan surga di bumi dalam kehidupan sehingga kita bisa memujanya di bumi. Di sini dimana beliau dapat diwujudkan dalam citra-citranya yang Agung.*

#rahayu

#selengkapnyadapatdibacadiedisimajalahhinduradityaedisioktober

#ombhambhairawayanamah
Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.