Tanpa bermaksud untuk bernostalgia dan beromantika dengan sejarah, Tampaksiring merupakan wilayah yang menjadi bagian dari peradaban pada masa pra sejarah , hingga sejarah pada masa Bali Kuno. Temuan arkeologis berupa nekara (bulan Pejeng) di pura Penataran Sasih, gugusan situs situs kepurbakalaan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, yang mengaliri kawasan Tampksiring, Pejeng, dan sekitarnya , yang diyakini juga oleh beberapa kalangan sebagai bagian dari titik titik penting sejarah peradaban Bali Kuno. Bahkan hinggapada masa kemerdekaan berdirinya Istana Kepresidenan Tampaksiring pada masa pemerintahan presiden Soekarno, adalah beberapa nukilan historis Tampaksiring. Dalam ranah kesenirupaan pada decade 1920an hingga 1930an di Tampaksiring lahir beberapa pelukis tradisional seperti Ida Bagus Grebuak, Ida Bagus Muku, dan I Wayan Tojiwa, tiga nama pelukis dan karya – karyanya dimasukkan dalam katagori gaya Tampaksiring dalam pameran karya koleksi Rudolf Bonet di Erasmus Huis Jakarta pada tahun 2008. Sejak tahun 1940an di Tampaksiring juga mulai berkembang aktivitas mengukir dengan media Batok Kelapa, Tulang, Tanduk, hingga Gading dengan gaya tradisional (pewayangan), aktivitas mengukir pada beberapa media tersebut terus berkembang hingga kini dan tentu saja mengalalami berbagai perkembangan baik dari segi bentuk, motif, tema dan desain, hingga bertumbuh menjadi industri rumah tangga yang menghidupi sebagaian besar masyarakatnya. Dalam bidang pertanian Tampaksiring juga memiliki dua buah Subak tua yakni Subak Pulagan dan Kumba yang menggunakan sumber air dari situs petirtaan Tirta Empul. Dalam bidang Seni Pertunjukkan di Tampaksiring juga terdapat beberapa jenis tarian Baris yang sudah mulai langka di Bali, seperti Baris Bedil, Baris Tamiang, dll.
Berbagai hal yang tumbuh di Tampaksiring seperti nilai historis, kehidupan kesenian serta alamnya menjadi “bahan” eksplorasi yang menarik jika diinterpretasi dan diwujudkan dalam konteks aktivitas proses kreatif kesenirupaan. Hal itulah yang kemudian melatar belakangi beberapa perupa baik dari kalangan perupa muda maupun perupa senior di Tampaksiring untuk menghimpun diri dalam wadah bersama tanpa membedakan sekat sekat akademik atau otodidak berupa sebuah komunitas yang bernama Amarawati Art Community. Komunitas ini terbentuk dari proses diskusi diskusi yang panjang antara para perupa yang sama sama berasal dari wilayah Tampaksiring.
Kehidupan di dunia ini nyaris tak dapat berjalan tanpa adanya air.Setiap organisme di bumi ini sebagian besar memerlukan air untuk dapat bertahan hidup.Air menjadi zat yang sedemikian vitalnya dalam kehidupan manusia. Ibu dari hampir semua peradaban besar dunia adalah sumber air. Sejarah mencatat peradaban peradan kuno tumbuh subur di sekitar sungai dan sumber air. Masyarakat Bali, air memiliki posisi yang penting bahkan cenderung dimuliakan.Air suci (Tirta) adalah elemen penting yang harus ada dalam setiap upacara. Sebuah ritual baru akan dianggap lengkap jika telah mengalami prosesi pemercikan tirta atau air suci tersebut. Demikian sentralnya posisi air (tirta) dalam sistem keagamaan masyarakat Bali sehingga praktik ritual keagamaan masyarakat Bali dikenal dengan Gama Tirta, sebelum kemudian resmi tercatat secara administratif sebagai Agama Hindu sebagai nama resmi yang diakui Negara.
Pameran yang terframe dalam kuratorial “Perdaban Air ; Pakerisan – Petanu” ini mengajak para seniman yang terlibat didalamnya untuk menginterpretasi atau menafsir dan mengembangkannya lebih jauh ke dalam karya seni rupa. Peradaban Air dalam konteks pameran ini tidaklah mengacu secara gamblang sebagai air dalam arti yang sebenarnya. Namun Peradaban Air dalam konteks kuratorial pameran ini berupaya mengajak para perupa yang terlibat didalamnya untuk melihat bagaimana peran sentral air dalam melahirkan peradaban Bali Kuno. Dalam konteks kuratorial ini semuanya sah untuk dihadirkan, sebab pameran ini bukanlah bertujuan untuk mencari kebenaran yang tunggal dalam sebuah narasi sejarah. Pameran ini tidak ada dalam kapasitas untuk memperdebatkan kebenaran mutlak dalam narasi masa lalu.Sebab kita tak kuasa memutar mesin waktu ke masa lalu dan menghadirkan peristiwa secara otentik dan presisi, bahkan dalam penulisan sejarah (historiografi) sekalipun selalu melibatkan fase atau tahapan interpretasi didalamnya.Pameran ini sekali lagi adalah sebuah tafsir terbuka, sebuah interpretasi yang luas dalam bahasa visual terhadap frame kuratorialperadaban air yang disajikan.Dalam berhadapan dan membaca berbagai mitologiyang terkait dengan tema pameran ini misalnya, kita bisa meminjam teori Barthes dalam memandang mitos sebagai sebuah sistem bahasa yang didalamnya terkandung level signifikansi konotatif. Artinya sebuah mitos sebenarnya tidak sedang berbicara dalam konteks mitos itu sendiri, ada nilai nilai simbolik yang tersembunyi yang sedang dituturkan mitos pada kita.
Komunitas Perupa Tampaksiring ; Amarawati Art Community adalah sebuah wadah bersama yang didirikan sebagai ajang pembelajaran, sharing gagasan, serta kerja kreatif para anggotanya yang terdiri dari para perupa di wilayah kecamatan Tampaksiring Gianyar. Meskipun memakai label wilayah yakni Tampaksiring, masing masing anggota tetap memiliki kebebasan untuk membuka diri dan mengembangkan aktivitas berkeseniannya secara personal,di luar wadah ini sesuai dengan pilihan strategi artistik masing masing. Amarawati Art Community hadir sebagai sebuah panggilan jiwa para anggotanya yang merasa lahir dan bertumbuh di wilayah Tampaksiring dan ingin menghidupkan basis kesenirupaan ataupun kesenian secara lebih luas di Tampaksiring.
Berhadapan pada karya – karya yang dihadirkan para perupa, kita akan berhadapan dengan 32 bentuk intepretasi, sudut pandang, dan cara presentasinya. I Made Suisma, I Wayan Aripta Guna, I Putu Edy Asmara Putra , I Made Muliana "Bayak ", I Nyoman Suarnata, Ida Bagus Ketut Djiwartem, Pande Wayan Suputra, I Made Kartiyoga, I Wayan Arinata, I Made Sudarsa, I Made Renaba, Ngakan Ketut Parweka, Ida Bagus Sudana Astika, Ida Bagus Asmara Wirata ( gus chenk), Ida Bagus Dewangkara (gus aping), Dewa Gede Saputra, Ngakan Agus Artha Wijaya, Jro Mangku Jiwatman , Ni Komang Atmi Kristiadewi, Ni Nyoman Kartika Tri Dewi, Damar Langit Timur, I Made Sudiana "Pedjeng", I Nyoman Kandika, I Kadek Suwi, I Made Adi Putra Sentana, I Made Ardiana, I Gede Arya Danu Palguna, I Wayan Gede Kesuma Dana, Jro Mangku Nyoman Sutrisna, I Wayan Gede Suwahyu, I Ketut Darmayasa dan Putu Krisna Soma Mayudata adalah 32 perupa yang terlibat dalam pameran ini.
Sebagaian perupa mencoba melakukan intepretasi atas tema peradaban air ini dengan mencoba mengangkat nilai nilai yang bisa diinterpretasi dari tema peradaban air ini.Mulai dari persoalan spiritualitas, sejarah, mitologis, sosial kultural , dan lain sebagainya. Mereka menghadirkan sebentuk interpretasi atas tema dengan imbuhan imbuhan “pernyataan” atau lebih tepatnya sudut pandang personal mereka akan sebuah objek. Mereka tidak menyalin objek secara apa adanya tapi bermain dengan imajinasi mereka. Dan serbagai sebuah komunitas yang baru berdiri, semoga momen pameran ini menjadi awal bagi pergerakan dan aktivitas dari Amarawati Art Community ini, layaknya aliran sungai pakerisan ataupun petanu, semoga komunitas ini memiliki nafas yang panjang untuk terus mengalir. (*SD)
0 comments:
Post a Comment