Waspadai Wabah Difteri





Oleh : Anak Agung Gde Muninjaya

Kementerian Kesehatan RI menyatakan Provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI mengalami wabah Difteri sejak bulan Desember tahun ini. Outbreak Response Immunization (ORI) diterapkan untuk mencegah semakin meluasnya penyakit menular ini. Sementara itu, di sebelas provinsi lainnya juga sudah bermunculan kasus baru Difteri, bahkan sudah ada yang meninggal dunia. Mobilitas penduduk mempermudah penyebaran penyakit menular ini. Apakah warga masyarakat di provinsi lainnya yang belum melaporkan kasus Difteri bisa tertular? Siapa yang rentan terkena penyakit ini? Bagaimana mencegahnya?
Faktor risiko
Penyebab Difteri yang menyerang anak Balita sampai usia 17 tahun ini adalah bakteri corinae diphteria. Penyakit ini di Indonesia sebenarnya bersifat endemik (lokal) dan muncul secara sporadis. Tetapi sejak Januari tahun ini penyakit ini menyebar dengen cepat di Purwakarta, Jawa Barat. Mengapa? Karena anak-anak warga setempat belum terjangkau dan mendapat perlindungan imunisasi dasar DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus). Kondisi ini dibiarkan saja terjadi. Kenapa mereka tidak terjangkau? Di sinilah kompleksitas masalahnya. Selain karena buruknya sanitasi lingkungan, kecepatan mobilitas penduduk dan kurangnya pengertian warga tentang penyakit ini, mereka juga meragukan kualitas vaksin DPT. Bahkan ada sekelompok warga di beberapa kota di Jawa Barat menolak diimunisasi. Penolakannya didasarkan pada salah persepsi tentang vaksinasi dikaitkan dengan agama. Ada juga sekelompok warga yang tidak percaya terhadap mutu vaksin yang disediakan pemerintah. Ingat berita vaksin palsu yang heboh tahun 2016?!
Sementara itu, tidak dipungkiri promosi kesehatan tentang pentingnya vaksinasi dan sosialisasinya oleh petugas kesehatan yang kurang efektif. Sosialisasinya memang hanya dilaksanakan oleh petugas kesehatan saja, tanpa melibatkan ulama setempat untuk menjangkau warga yang menolak anaknya diimunisasi karena kepercayaan agama.
ORI
Karena sudah dinyatakan wabah, kepanikanpun terjadi di Provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta. Di Purwakarta bahkan case Fatality Rate (CFR - tingkat kematian) penyakit ini cukup tinggi yaitu mencapai 20% karena keterlambatan keluarga mengakses pelayanan kesehatan untuk merawat pasien. Kondisi seperti ini bisa terjadi dimana dan kapan saja kalau ketidak fahaman keluarga tentang penyakit ini, masalah kemiskinan dan tempat tinggal warga yang jauh dari lokasi Puskesmas dibiarkan saja tidak ditangani secara proaktif oleh petugas kesehatan.
Untuk mengekang meluasnya wabah penyakit ini, Kemenkes RI memberlakukan ORI (vaksinasi DT) dengan sasaran semua siswa SD sampai SLTA tanpa kecuali di tiga provinsi yang dilanda wabah Difteri. Provinsi lainnya (seperti Jawa Timur) juga akan diberlakukan karena sudah melaporkan peningkatan kasus Difteri di wilayahnya.
Gejala
Bagaimana provinsi lainnya yang belum melaporkan kasus Difteri dari wilayahnya bisa mencegahnya? Pertama warga harus dibuat faham tentang penyakit ini (gejala dan cara penularannya), termasuk meyakinkan mereka tentang pentingnya anak bawah satu tahun mendapat imunisasi dasar lengkap khususnya DPT dan imunisasi ulangnya (booster) mulai siswa SD sampai SLTA. Mulai bakteri masuk ke tubuh sampai timbul gejala penyakit (masa inkubasi) membutuhkan waktu 2-5 hari. Gejala penyakit menular ini khas yaitu demam sampai menggigil (tidak lebih dari 38 derajat C), suara serak, batuk2 (mulai encer dan berdahak bercampur darah), sakit menelan sampai kesulitan bernafas. Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher. Warga harus mengenal benar gejala dini penyakit ini sebelum segera membawanya ke dokter yaitu anak sulit bernafas karena lokasi serangan (predileksi) bakteri ini pada saluran nafas bagian atas (Larynx). Semua gejala dini tersebut wajib difahami masyarakat awam untuk diwaspadai.
Dokter yang memeriksa pasien akan memastikan diagnose penyakit ini berdasarkan gejala dan keluhan utama pasien, termasuk melihat lapisan tipis keabu-abuan pada saluran nafas bagian atas dekat dengan lokasi amandel. Dengan ditegakkannya diagnose Difteri oleh dokter, pasien wajib dirawat di ruang khusus (isolasi), diberikan bantuan pernafasan dan antibiotika erytromicyn. Perawat dan keluarga harus memakai masker untuk mencegah penularan.
Pencegahannya
Sesungguhnya semua penyakit menular di Indonesia bisa dicegah. Khusus penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi, termasuk Difteri, pemerintah sudah lama menerapkan program imunisasi dasar melalui Puskesmas yang diberikan secara gratis kepada semua anak usia bawah setahun. Vaksin Difteri dijadikan satu dengan Pertusis (batuk rejan – batuk bengek), dan Tetanus karena sama-sama disebabkan oleh bakteri. Pemberiannya tiga – empat kali dengan skema vaksinasi BCG (mencegah TBC, diberikan segera setelah lahir sampai usia 1 bulan), DPT (3 - 4 kali) polio (3 - 4 kali), hepatitis B (3 - 4 kali), dan Campak (sekali pada usia 9 bulan).
Petugas kesehatan bekerjasama dengan PKK/Dharma wanita, ulama, dan guru harus bersama-sama memberikan penyuluhan terutama kepada warga yang menolak anaknya divaksinasi karena salah persepsi dan kurangnya pemahaman mereka tentang pentingnya anak dilindungi dari penularan penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus menjadi budaya keluarga dan masyarakat (paradigma hidup sehat) karena bisa mencegah risiko terkena penyakit menular dan penyakit tidak menular.
Penulis: Pengamat masalah Kesehatan Masyarakat.

Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.