Leak apakah baik atau buruk?




Oleh ; I Ketut Sandika
Dosen IHDN Denpasar

Sebuah pertanyaan yang substantif ketika kita akan mewacanakan tentang leak, baik dalam konteks ilmu, sifat, bahkan sebagai jalan pembebasan. Jawaban atas pertanyaan tersebut sudah pasti memunculkan dua versi antara ya baik dan ya buruk. Demikianlah dualitas (rwa bhineda) selalu muncul dalam ranah sekala, dan tidak akan dapat dipisahkan keduanya dalam kehidupan. Justru inilah kesempurnaan hidup, bahwa dualitas selalu berdampingan, bukan bertentangan.

Leak...istilah ini muncul dalam lingkungan sosial masyarakat Bali selalu merujuk pada konotasi negatif. Leak selalu diidentikan dengan keburukan, sehingga sangat latah ketika menyebut leak sudah pasti keburukan ada padanya. Dengan kata lain, leak selalu dicap buruk sehingga dalam lingkungan sosial istilah ini sudah berkonotasi dengan praktik ugig/wegig, desti, ndeluh terangjana dst. Sesungguhnya, istilah leak tidak saja merujuk pada ilmu, sifat, yoga dst, tetapi lebih pada "tradisi pangiwan" yang di dalamnya ada praktik-praktik (ngelmu) hingga berpuncak pada pembebasan.

Dalam tradisi pangiwan, penekun akan dihadapkan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan praktik mistik yang serba rahasia dan pengetahuan rahasia. Tujuanya adalah bagaimana menjadi siddhi, siddha, karuna dan sadhu, yakni sebuah pentahapan yang harus dilalui si penekun untuk mencapai pembebasan diri. Celakanya, banyak penekun terjebak dalam kesiddhian sehingga lupa akan tujuan dari pangiwan. Mereka justru keenakan dalam dunia siddhi, sehingga "siddhi menadi wisia" (kesaktian menjadi racun) dalam dirinya. Siddhi yang dipraktikan salah inilah muncul keakuan. Benih keakuan inilah berbuah pada praktik-praktik wegig/ugig, desti, ndeluh teranjana.

Oleh karena itu, suksesi penekun leak dalam tradisi pangiwan adalah ketika ia mampu mentransformasi siddhi menjadi siddha atau suci laksana, ucapan dan pikiran. Ketika penekun sudah siddhi dan siddha maka ia tidak harus berhenti di sana. Justru ia harus mengangkat dirinya pada karuna atau cinta kasih. Sesungguhnya siddhi inilah kekuatan yang hendaknya digunakan mengangkat diri menjadi karuna, dan ketika karuna sudah mekar dalam hati maka ia akan menjadi sang saddhu (leak ngisep sari). Ketika penekun sudah sampai dalam tatanan puncak, maka dengan segera ia "menggal pangiwan", dan mengambil jalan tengen. Tidak berhenti di sana, setelah berada di jalan tengen, maka penekun harus mengatasi keduanya (kiwa kelawan tengen) sehingga tidak ada lagi saling mengungguli. Kiri kanan, baik buruk, hitam putih tidak akan ada lagi perbedaan baginya (rwa bhineda tanpa rasa, tanpa kata, tanpa basa, tanpa sastra, tanpa ujar dst).

Puncak dari semua itu adalah pembebasan dengan melepaskan sangatma dari kurungan ragawi yang mengikat. Ia akan mampu menuntun sangatma keluar dari siwadwara berupa "sinar" atau cahaya rahasia yang sebelumnya ke 9 lubang pintu tubuh ditutupnya. Kemudian cahaya inilah disebut leak. Sebelum sinar atau cahaya ini keluar, bagi penekun yang benar-benar mendalami dapat membakar badan wadagnya dengan agnirudra yang muncul dari nabinya sebagai tungku api yang selalu menopang kesiddhiannya.

Jadi leak adalah tradisi pangiwan yang hidup dalam tradisi mistik di Bali. Tentunya ini hanya sebuah tafsir berdasarkan atas teks otentik, penuturan orang yang benar-benar menekuni dan melakoni. Tentunya masih bisa diperdebatkan. Cuma memperdebatkan objek ini sama halnya kita seperti orang buta yang meraba seekor gajah. Kita raba belalai gajah maka kita akan menjelaskan gajah seperti ular, panjang dst. Sebab ini bukan sekdar didebatkan, tetapi dihayati. Jadi kembali ke dalam diri, leak jika kita sepakti sebagai ilmu...berarti tergantung kita menggunakannya.(*)


Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.