Oleh ; I Ketut Sandika
Saya terkejut membaca status sahabat saya untuk tidak merekomendasikan anak-anaknya bercita-cita menjadi guru. Saya paham bahwa itu luapan kekecewaan atas apa yang ia alami. Ledakan psikologis harus dilepaskan, dan sebagai sebuah terapi psikis agar tidak menjadi endapan di alam bawah sadar. Justru disimpan dalam bawah sadar berdampak buruk pada kesehatan.
Terlepas dari semua itu, status yang demikian adalah tamparan keras sesungguhnya bagi dunia pendidikan. Anomali paradigma tentang apa itu pendidikan, mendidik,belajar mengajar, guru dst menjadi masalah purba dalam dunia pendidikan. Pendidikan masih dipandang sebagai sebuah proses yang sekulerisasi. Dalam artiam pendidikan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan mataerial. Sederhananya, dengan berpendidikan dan gelar tinggi kemudian menghasilkan uang banyak hingga menjadi kaya. Dengan kata lain, pendidikan, mendidik dan belajar nantinya menjadi kaya, punya uang banyak diterima jadi PNS dan yang lainnya.
Dalam ranah filsafat pendidikan, Socrates, Aristoteles dan Plato menyatakan secara fundamental pendidikan adalah sebuah proses yang bertautan kuat dengan prilaku. Artinya, melalui pendidikan maka manusia diharapkan mampu bertransformasi diri hingga memiliki statandar moralitas tinggi. Jadi pendidikan, mendidik dan belajar serta mengajar adalah bertujuan merubah perilaku menuju pada kebaikan dan peningkatan kualitas diri, bukan mengakumulasi modal ekonomi. Bahkan Bloom dalam taksonominya menyatakan bahwa manusia harus dididik (bukan diajar) agar potensi afektif (perilaku), kognitif (intelek) dan psikomotorik ( keterampilan) berkembang secara oftimal.
Adapaun dalam perspekstif Hindu, pendidikan jauh memiliki makna yang lebih holistik. Tidak saja mampu mengembangakan potensi kognisi, tetapi kecerdasan spiritual (sq), emosi (eq), dan hati hingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam teks Veda khususnya Upanisad banyak diungkap pendidikan berbasis spiritual. Sebab pengetahuan spiritual adalah utama, sumber dari pengetahuan material (sa brahmavidya sarvam vidya pratistha). Konsep logis, ketika pengetahuan spiritual sudah dikuasai maka hal-hal yang material akan mengikuti. Di sana juga diungkap hakikat pendidikan sebagai sebuah proses penempaan diri dalam laku brahmacari, yakni ia yang mencari Tuhan. Metode mencari Tuhan adalah teknik guru untuk bagaimana pengetahuan itu mampu memnumbuhkan benih dewatanisasi dalam diri melalui pembelajaran yang menyenangkan.
Sejajar dengan itu, di Bali konsep demikian sudah dilakukan sejak lama. Bahkan pendidikan dilakukan dalam rumah-rumah sastra dalam tradisi nyastra. Dahulu leluhur Bali belajar sastra bukan menjadi kaya raya tetapi bisa memahami hakikat diri. Sebab ketika pengetahuan ini dikuasai dan diterapkan dalam laku, maka kekayaaan utama akan dimiliki. Apa itu? Mencari jalan mati hingga hidup tenang mati senang.(*)
0 comments:
Post a Comment