Oleh : I Ketut Sandika
Tiada akan pernah lelah manusia untuk memaknai
kegaiban yang remang-ramang. Adanya kepercayaan dan agama sesungguhnya adalah
upaya manusia untuk menterjemahkan yang gaib (niskala) dan remang-remang itu
dalam wujud konkritnya. Meskipun kadangkalanya memunculkan hal-hal yang absurd
dan irasional. Tetapi, semua itu adalah cara manusia untuk memahami kegaiban
itu. Sebagaimana sejatinya manusia adalah makhluk yang terpesona dengan
kegaiban, dan gaib terkadang menjadi solusi ketika permasalahan rasio (sekala)
tidak mampu menjawabnya. Gaib seolah memesonakan dirinya dalam citra magi,
mana, matra dan mistis sehingga manusia terwajibkan untuk menjadi tahu, kenal,
masuk dan bahkan menjadikan dirinya gaib.
Dalam mistik Tantra daya gaib diberlakukan dalam
setiap laku kita. Terlebih dalam praktik dan ritualnya. Sebab daya gaib adalah
Sakti sebagai terusan dari kekuatan semesta yang mutlak. Kehadiran daya gaib
memunculkan kekaguman, sehingga Tantra memujanya dalam citra yang menyeramkan.
Sebab Tantra memandang daya gaib sebagai kekuatan energi yang maha dasyat yang
melampui segala keterbatasan indriawi. Jadi, citra yang demikian semata-mata
hanyalah penggambaran bahwa untuk kita menyadari bahwa kegaiban melampui
hal-hal yang menakutkan. Dan, untuk kita menyatu dengan kegaiban itu, terlebih
dahulu ketakutan dalam diri hendaknya ditaklukan.
Rangda sakral di Bali merupakan salah satu
penggambaran daya gaib yang dilakukan leluhur Bali. Membuktikan praktik-praktik
Tantra masih dilakukan hingga kini. Sekaligus pembuktian pula bahwa daya gaib
memiliki daya magi yang kuat dibalik arus global dan modernitas. Meskipun
belakangan pengkultusan Rangda menghilangkan makna dan hakikat yang sebenarnya.
Rangda yang disakralkan justru dijadikan ikonik yang membubungkan sisi keakuan
manusia. Dijadikan ajang kontestasi dalam konteks yang tidak lazim. Bahkan
Rangda dipentaskan dalam pementasan Calonarang bukan lagi sebagai citra Sakti
sebagai penyomnya dalam spirit Tantrapuja, tetapi dijadikan media
mempertontonkan kesaktian.
Spirit Tantra dalam citra Rangda sudah kehilangan
identias kesejatiannya. Leluhur Bali menghadirkan citra ini sesugguhnya agar
kita selalu diingatkan untuk dekat dan lebur dalam kegaiban itu. Dalam arti,
menyadari kekuatan itu memang ada dalam kehidupan sekala untuk
"penyeimbang" atau pengharmoni. Spiritnya terletak bukan pada
kedsyatannya, tetapi asa kemanfaatan dari daya gaib itu untuk melebur dan
meneutral (nyomya) sisi kabhutaan dalam diri dan ngeruwat bumi. Sebab
keseimbangan diri akan membawa dampak terhadap keseimbangan kosmos pun
sebaliknya.
Luar biasanya leluhur adalah terletak pada
kesederhanaanya dalam mewujudkan kegaiban itu dalam simbol-simbol yang dekat
dengan kehidupan manusia. Rangda dibuat dalam sosok menyeramkan sebab manusia
adalah sang penakut sesungguhnya. Ketakutan sangat dekat dengan kehidupan
manusia, sehingga Rangda dibuat dengan pola-pola yang menyeramkan. Secara
psikologis jelas, agar kita menemukenali ketakutan itu dan menjadikannya
sahabat dalam kehidupan. Merangkulnya dalam pelukan kasih, seperti rangkulan
seorang Ibu terhadap anaknya, menghangatkan dan mendamaikan. Kehadiran Rangda
yang menyeramkan tiada lain adalah ruang untuk kita berdiam, hening, ke dalam
memeluk ketakutan kita akan segalanya. Sehingga, kita bukan lagi berada dalam
ketakutan, tetapi harmoni selaras dalam kasih semesta yang mana gaib selalu
mengagumkan.
*Dosen IHDN Denpasar
Penulis Buku Tantra
Penulis Buku Tantra
0 comments:
Post a Comment