“Nunas Baos” Boleh, Asal Jangan Sampai Berkonflik




foto : Aris Sarmanta 
Oleh : Angga Wijaya

Luh Sukerti (bukan nama sebenarnya) sudah hampir setahun ini tidak bertegur sapa dengan seorang tetangganya yang bersebelahan dengan rumahnya. Pasalnya, Sukerti mendapat petunjuk dari seorang Balian (orang pintar) tentang penyebab sakit yang dideritanya sejak beberapa tahun terakhir. Balian mengatakan Sukerti diguna-gunai oleh tetangganya tersebut dan menyarankan beberapa hal seperti menutup jalan penghubung antara rumahnya dan tetangga yang disinyalir menguna-gunainya.
Gambaran di atas adalah kejadian nyata yang saya temui di Denpasar dan kemungkinan terjadi juga di daerah lain di Bali. Kuatnya keyakinan masyarakat Bali tentang adanya roh leluhur membuat banyak semeton Bali yang menyelesaikan permasalahannya dengan bertanya kepada orang pintar atau Balian. Ritual bertaya mencari pemecahan masalah atau mencari solusi lewat Balian ini dikenal dengan nunas baos atau meluasin.
Menurut Dr. I Made Yudhabakti, Dekan Fakultas Agama dan Seni Universitas Hindu Indonesia (UNHI) seperti dilansir harian Bali Express (Jawa Pos Group), 26 Oktober 2017 ritual nunas baos atau meluasin ini biasanya dilakukan oleh sebuah keluarga ketika keluarga tersebut mendapatkan atau tertimpa sebuah musibah, sakit, untuk mengetahui siapa yang mantuk pewayangan, kematian ataupun apabila akan mengadakan sebuah upacara adat agama yang besar dalam keluarga. Namun yang lebih sering adalah apabila sebuah keluarga tertimpa musibah, sakit atau kematian.
Tujuannya, untuk mencari dan mendapatkan sebuah jawaban atas sebuah pertanyaan yang dilakukan secara gaib atau niskala dengan perantara atau mediator seorang dukun atau seorang jero dasaran. Dukun tradisional Bali dikenal dengan sebutan Balian, sedangkan Jero Dasaran adalah seorang yang dianggap mampu berkomunikasi dengan alam gaib, utamanya roh-roh leluhur ataupun roh orang yang telah meninggal. Jero Dasaran adalah semacam seorang mediator antara alam nyata dan alam roh atau alam gaib.
Namun, isi dari petunjuk jero dasaran itu yang belum tentu benar. Menurut Yudhabakti, sudah biasa kalau banyak ucapan-ucapan itu terkadang ngawur, meskipun di lain kesempatan juga banyak ucapan balian sonteng ini benar dan dapat menyelesaikan problema seseorang yang datang padanya.
Dikatakanya, hal inilah yang menyulitkan kemudian, karena toh mereka mengklaim bekerja atas nama sasuhunan yang gaib, namun tetap saja harus bicara dalam bahasa manusia. Dan, ucapan-ucapan tersebut harus dipertanggungjawabkan secara hukum positif dan hukum agama. Tak disanggahnya, banyak juga ucapan bertuah dilontarkan balian, namun tak jarang ucapan menghasut dan menyesatkan terucap. Mungkin masalahnya adalah, apakah dasaran itu ngiring bhuta, ngiring bhatara atau melanjutkan pekerjaan pitara yang belum tuntas.
Yudhabakti mengakatakan, selama ini yang diasosiasikan sebagai bhuta kala adalah makhluk-makhluk assura, daitya, danawa, raksasa, pisaca, yaksa, pratikelena, dan lainnya. Namun belum dapat mengetahui siapa danawa, yaksa, pisaca. Roh-roh manusia yang mati bisa digolongkan menjadi beberapa jenis, yakni roh yang mencapai alam kebebasan (Moksa), roh yang mencapai alam dewa (Sorga), roh yang terikat dengan dunia, tetapi memiliki karakter baik (Dewa Yoni), dan roh yang berada dalam kesadaran tingkat bawah (Preta Yoni).
Jika sasuhunan itu dewa yoni, maka motivasinya adalah untuk membantu secara murni, karena dulunya mungkin roh tersebut adalah orang baik-baik di masa hidupnya dan memiliki energi sakti. Dan, karena energi saktinya inilah roh tersebut harus menuntaskan karma wasananya dengan menyalurkan energi yang terlanjur diterima sebelumnya kepada manusia yang masih hidup (kekuatannya diberikan kepada balian). Umumnya, roh macam ini tak banyak permintaan, tak minta banten banyak dan persyaratan sulit bagi pasien. Ujung-ujungnya pun umat akan digiring untuk tangkil ke pura-pura tertentu untuk tangkil kepada Ida Bhatara di sana.
Berbeda dengan roh preta yoni, yang mana motivasinya mencari pengikut untuk menyuburkan kedudukannya di alam sana. Ingin memperluas dan memperkuat hegemoni. Roh seperti ini akan memberikan pawisik menyesatkan. Awalnya kelihatan benar, tetapi berikutnya akan disamarkan secara perlahan, sehingga yang mengemuka adalah kepentingannya, bukan mengatasi masalah manusia. Misalnya, kemudian minta palinggih, minta upacara tertentu, minta dibuatkan palinggih di pohon yang angker (kendati tidak semua yang minta palinggih itu preta yoni, bisa juga dewa yoni).
Karena roh-roh ini, baik dewa yoni maupun preta yoni belumlah roh yang sempurna, maka apa yang dibisikkannya kepada manusia tidak bebas dari risiko kebohongan, kesalahan, ketidakbenaran, dan lainnya. Jadi, berhubungan dengan mereka ini patut dipetik manfaat positifnya saja. Karena roh-roh seperti ini adalah pasti roh tua, berasal dari mereka yang meninggal dahulu kala, mungkin juga di zaman purba atau kerajaan. Mereka tentu memiliki kemampuan untuk menghubungi roh-roh yang baru meninggal, untuk memediasi berdialog dengan bekas keluarganya di alam nyata. Itulah fungsi sesuhunan dasaran atau balian sonteng. Dikatakan Yudhabakti, tinggal sekarang kita perlu waspada dan menyelamatkan jalan spiritual kita. Untuk tidak terjerumus pada hasutan gaib yang tak bertanggung jawab, maka jadikan ajaran agama sebagai pedoman utama.
Makhluk preta yoni ini banyak bergentayangan di sekitar kita mencari ‘nasabah’ militan. Hati-hatilah pergi ke gunung, goa, pohon besar, tempat angker untuk minta kesaktian. Kesaktian dan pesugihan adalah hal yang sangat remeh dan paling murah di alam niskala yang bisa dijadikan umpan untuk menjerat leher manusia yang keburu terhanyut hayalan kemewahan dunia. Dan, bagi mereka yang emoh, enggan ngiring sasuhunan yang tak jelas identitasnya, punya keraguan di hati untuk menajdi abdinya, maka segeralah berlindung kepada guru rohani. Temuilah sath guru dan kita akan dibebaskan dari risiko buruk itu. Jika pun harus ngiring, maka kita akan menjadi abdi dewa-dewa yang bertahtakan kesucian. Mohonlah petunjuk kepada leluhur di Sanggah Kemulan supaya dibukakan jalan terang.
Yudhabakti mengatakan, sebenarnya yang kita cari di tempat balian sonteng bukanlah wahyu dewata, tetapi kita pinjam ‘pesawat telepon’ untuk menghubungi keluarga kita di alam lain. Roh keluarga kita yang bisa dihubungi adalah yang dimensinya masih dekat dengan alam ini. Semakin tinggi alam yang dicapai roh bersangkutan, maka makin sulit dihubungi, apalagi roh yang sudah mampu bebas dari ikatan duniawi. Namun, kenyataannya, siapa saja yang hendak kita kontak lewat jero dasaran selalu bisa. Ditambahkannya, ritual meluasin pantang dilakukan saat Tri Wara berada saat hari Pasah. Sisanya Beteng dan Kajeng tetap bisa. Pasah merupakan salah satu hari yang tidak baik untuk pelaksanaan upacara, dan leluhur jarang bisa berkomunikasi kala itu.
Ia menjelaskan, agama Hindu menyediakan literatur yang melimpah untuk dijadikan tumpuan belajar dan panduan mempraktikkan kehidupan beragama. Ada kelompok kitab Weda yang banyak jumlahnya, kemudian di Bali sendiri masih dibantu dengan literatur dalam bentuk lontar. Di luar hal tersebut, masih ada sulinggih ataupun pemangku sebagai tempat konsultasi tentang masalah keagamaan. Jika itu pun belum cukup, maka masih ada lusinan dresta, sima atau tradisi yang telah lumrah dipraktikkan turun-temurun. *
*penulis buku puisi Catatan Pulang


Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.