seorang perempuan mengisi harapan di instalasi seni mural di Kerta Gosa (foto/dwi)
KLUNGKUNG,
Memperkenalkan lebih jauh tentang sastra Bali kepada masyarakat khususnya anak
muda lebih elegan dengan kalaborasi seni instalasi dan sastra Bali. Ide ini
salah satu cara mendekatkan sastra Bali kepada anak muda. Event Semarapura
Festival 2017 yang berkaitan dengan Hut Puputan Klungkung ke 109 dan Hut Kota Semarapura
ke 25 komponen generasi muda yang tergabung dalam Aliansi Peduli Bahasa Bali
dan Gurat Institute bekerja sama dengan Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten
Klungkung berpartisipasi dalam menyemarakkan kegiatan evet tahunan yang
digelar.
Menampilkan hal yang
berbeda salah satu pendekatan kepada masyarakat keberadaan sastra Bali. Seni
Instalasi Mural Padmaksara ini adalah salah satu kegiatan sosial yang
diharapkan memberikan dampak positif bagi tumbuh dan berkembangnya kesadaran
masyarakat dalam menggunakan bahasa Bali.
Ide pecetus acara Instalasi
Mural Padmaksara dari Aliansi Peduli Bahasa Bali diantaranya Bayu Gita Purnama,
Anom & Gus Darma, Gurat Institute I
Made Susanta Dwitanaya & Dewa Purwita juga melibatkan seniman antara lain
Komunitas Djamur, Komunitas Helmonk dan perupa Wayan Sudarna Putra alias Nano U
Hero.
Instalasi Mural
Padmaksara adalah sebuah konsep yang mempertemukan tiga komponen mendasar dalam
kehidupan masyarakat Bali, yaitu bahasa (aksara dan sastra), seni, serta
ritual. Tujuan utama dari seni instalasi mural ini adalah untuk menggemakan
semangat cinta bahasa Bali di Kabupaten Klungkung.
”Semangat menyebarkan
ideologi kecintaan terhadap Bahasa Bali ini kami kemas dengan kemasan seni yang
sangat interaktif yaitu seni instalasi dan mural. Kami mencoba menawarkan ruang
baru bagi bahasa Bali untuk tampil dan lebih dekat pada generasi muda, lebih
dekat dengan masyarakat Kabupaten Klungkung, “kata Bayu Gita Purnama saat
dikomfirmasi, Senin (1/5).
Sebab bagaimanapun
juga, Bayu mengatakan Bahasa Bali harus menempati ruang-ruang baru yang lebih
modern dan dekat dengan generasi muda, lebih mampu mengikuti perkembangan
jaman. Sehingga bahasa Bali tidak lagi dipandang sebagai bahasa yang kuno,
bahasa yang ketinggalan jaman.
Lokasi pemasangan
instalasi mural ini di Museum Kertha Gosa, sebuah lokasi yang paling bersejarah
dalam perjalanan peradaban Klungkung dan juga Bali. Pemilihan Kertha Gosa
sebagai lokasi bukan tanpa alasan, karena Kertha Gosa adalah sebuah sejarah
aksara dan kata-kata sebagai puncak penciptaan kedamaian,kerahayuan,
kesejahteraan, dari pemimpin untuk segala masyarakatnya. Kertha Gosa memiliki
makna kata-kata yang melahirkan kesejahteraan. Pada dasar kesejarahan inilah
kami berpijak, aksara Bali menjadi bangkit dan kembali ditinggikan oleh
masyarakat penggunanya, tidak semata sebagai sebuah warisan peradaban namun
juga sebagai keseharian yang tak lepas dari manusia Bali.
Klungkung akan turut
berperan menjadi tempat lahirnya ruang baru bagi bahasa Bali pada ruang seni
kreatif. Hal ini sekaligus sejalan dengan semangat pemerintah Kabupaten
Klungkung dalam usaha menggalakkan penggunaan bahasa Bali.
Menurut Gurat Institute
I Made Susanta Dwitanaya menyampaikan Seni Instalasi Mural Padmaksara ini
menghadirkan sebuah peristiwa kebudayaan dengan memakai media mural dan
instalasi sebagai sarana untuk memasyarakatkan bahasa dan aksara Bali kepada
publik. Media ini dapat dimaknai sebagai sebuah upaya untuk memperluas misi
kebudayaan dalam hal ini pengembangan bahasa dan aksara Bali dengan cara dan
pendekatan yang lebih kontemporer. Mural misalnya sebagai bentuk seni rupa
publik telah menjadi bagian dari urban culture yang sangat lekat dengan
kalangan muda. Sehingga pilihan untuk mengkolaborasikan bahasa Bali dengan
bentuk seni mural akan menjadi kolaborasi yang sangat menarik.
Mural digarap oleh
komunitas Djamur dan Hell Monk yang
dibuat seatraktif mungkin dalam upaya melakukan pendekatan yang lebih intim
pada generasi muda di Kabupaten Klungkung. Di samping media mural, pilihan
pengunaan media instalasi interaktif berupa instalasi pohon Taru Aksara dari
anyaman bambu oleh perupa Wayan Sudarna Putra (Nano U Hero) yang akan
dikolaborasikan dengan pohon impian, berupa happening art dimana publik diminta
untuk menulis impiannya terhadap
Kabupaten Klungkung dengan bahasa dan aksara Bali. Pengunjung akan menulis
impian dan harapannya di atas daun lontar, lalu harapan dan impian tersebut
akan digantung pada pohon harapan tersebut. Pada pohon impian tersebut, selain
berisi harapan masyarakat Kabupaten Klungkung juga akan berisi gantungan
aksara-aksara Bali sesuai dengan pangider bhuwana. Pohon harapan ini sekaligus
menjadi sarana untuk pengunjung belajar bahasa Bali. Kami akan siapkan tabel
aksara Bali untuk membantu pengunjung yang hendak menulis harapannya dengan
aksara Bali. Pengunjung yang mampu menulis harapannya dengan aksara Bali akan
mendapatkan poster aksara Bali secara cuma-cuma, hal ini sebagai bentuk
apresiasi terhadap mereka yang telah berusaha menjaga peradaban aksaranya.
Pohon harapan ini berada di tengah-tengah instalasi mural, sehingga pohon
harapan ini menjadi pusat atau titik tengah dari seni instalasi ini.
Sementara perupa Wayan
Sudarna Putra, sebagai sebuah ruang seni, instalasi mural ini juga akan kami
gunakan untuk menjadi panggung pembacaan puisi Bali. Pembacaan puisi Bali ini
akan dilakukan oleh sastrawan muda Bali modern yang hadir dari beberapa
komunitas sastrawan di Bali. Pembacaan puisi ini akan merespon ruang dari seni
instalasi mural, sekilgus memberikan nuansa baru bagi ranah bersastra di Bali.
“ Pada sesi akhir
kegiatan ini, kami akan melakukan ritual yang kami sebut Aksaram Pula Kertih.
Ritual ini adalah puncak dari kegiatan ini, dimana semua harapan dan impian
masyarakat Kabupaten Klungkung yang telah digantung pada pohon harapan akan
ditanam bersamaan dengan penanaman bibit pohon, “ tutupnya. (*)
0 comments:
Post a Comment