Esai : Jeritan Semesta Mulai Murka



karya Sujana Kenyem holly water
Dampak lingkungan yang tak terbendung diexploitasi secara berlebihan reaksinya alam mulai marah dengan bencana yang terjadi baik itu banjir, tanah longsor dan sebagainya. Saat terjadi bencana dimana kita saling menyalahkan dan membenarkan posisi masing-masing dari sudut pandang yang berbeda. Perang opini yang tanpa solusi yang berarti bagi keberadaan alam. Sejadinya alamnya yang harus dirawat dan dijaga agar tetap seimbang bagi kelangsungan hidup. Apa daya ketika ideliasme perut perusak paling utama. Sulit membicara kalau sudah keranah hal itu, komitmen dan konsistenlah hal utama dan penting bagi pelestarian alam.

Kekayaan alam yang berilimpah bila dengan bijak memanfaatkan akan tercapai cita-cita yang luhur. Dewasa ini perebutan hasil alam problem paling dasyat mengalahkan segala isu yang lain seperti gadis seksi saja. Semut merapat dan mendekat menikmati manisnya gula begitu juga manusia mementingkan ego. Sekali-kali alam diberi rehat sejenak dalam artian memanjakannya dan menyayangi karena alam sayang “ antara anak dengan orang tua “.

Manusia tidak terlepas dari peran alam yang menghidupi hingga akhir ayat. Ketulusan memberikan semuanya terkadang manusia serakah mengexploitasi tidak memikirkan dampak yang lebih ganas. Seharusnya alam yang sudah memberikan penghidupan dikelola dengan bijak sesuai dengan kepatutan. Timpal balik kontribusi alam manusia harus memeliharnya. Sedih ketika alam dirusak membabibuta hanya mementingkan ego demi keuntungan sendiri. Ketika sudah alam murka baru saling menyalahkan, Wayan Sujana Kenyem dalam karyanya bahwa alam semestinya dijaga keberadaan agar tercipta kesimbangan. Keasrian alam terdesak kebutuhan, Sujana mengkritik mengelola alam patut menjaga kesimbangan dimana alam telah memberikan sesuatu timbal balik meruwat kembali agar tetap harmonis alam terhadap seisinya. Alam memberikan vibrasi dalam kehidupan ini. Kalo berlebihan jelas tidak bagus apalagi merusak alam.

Oka Astawa

Hal yang senada perupa muda I Gede Oka Astawa juga mengvisualisasi alam dari cakaran manusia. Perupa muda kelahiran Pangkung Tibah Tabanan 6 Juni 1989 ini kerap menghadirkan persoalan alam dalam karya karyanya. Persoalan alam dan  ekologis memang tengah menjadi isu yang menglobal karna dampak dari kerusakan lingkungan itu sendiri dirasakan secara menglobal oleh warga dunia saat ini, dari bangku seminar akademik sampai warung kopi persoalan ekologi adalah topik yang kerap diperbincangkan. Berbagai individu maupun komunitas hinga institusi, seperti para ilmuwan, pemerintah, aktivis , seniman, maupun berbagai elemen masyarakat lainya  tentu saja telah berupaya dalam porsi dan kapasitasnya masing masing dalam menyuarakan dan membangun kesadaran bersama dalam menyikapi kondisi lingkungan bumi saat ini.
Karya seni rupa sebagai bagian dari buah peradaban manusia juga kerap hadir menjadi media para perupa untuk menyuarakan tentang isu isu ekologis dan alam tersebut. Secara ideal tentu saja ada visi soal penyadaran yang diemban oleh pelaku seni ( perupa) dalam horizon harapanya ketika menghadirkan isu isu ekologis ini dalam karya mereka. Jika menilik kebelakang dalam kitab sejarah hadirnya berbagai gerakan seni rupa , semisal environmental art yang merupakan gerakan seni rupa dimana relasi antara kesenian ( seni rupa) dan sisu isu lingkungan dihadirkan dan disuarakan oleh para seniman. Pola gerakan environmental art ini tidak hanya berhenti pada medan sosial maupun intstitusi dalam art world melainkan berusaha cair hadir menyapa publik yang lebih luas, agar isu isu lingkungan yang disuarakan diharapkan mampu mempersuasi publik secara langsung.

Gagasan, opini, dan sudut pandang Oka tentang persoalan ekologi dan alam  yang terepresentasikan dalam karya karya ini menunjukan bagaimana Oka sebagai perupa  membaca dan menghayati  sebuah topik besar seputar kondisi ekologis yang sedang dighadapi oleh manusia sebagai penghuni rumah besar bernama bumi. Tema besar seputar kondisi ekologi dan alam coba oka kerucutkan dengan memfokuskan persoalan alam maupun ekologi dalam konteks dirinya sebagai perupa Bali.

Alam dan isu isu lingkungan merupakan satu landasan yang menjadi pijakan dalam proses kreatif Oka selama ini. Terlebih ketika Ia kembali dari Jogya ke Bali. Ia melihat bagaimana terjadi perubahan kondisi alam dan lingkungan yang tengah melanda Bali akhir akhir ini, yang tentu saja juga menjadi gejala global di belahan dunia ini. Alih fungsi lahan, ketidakpedulian dalam menjaga kebersihan lingkungan, eksploitasi alam secara berlebih untuk kepentingan pembuatan infrastuktur fisik atas nama pembangunan mengusik naluri estetik Oka. Sebagai orang Bali Oka mencoba merenungkan kembali apa yang tengah terjadi. Filsafat dan nilai nilai kultural Bali adalah jalan Oka untuk  berefleksi dengan situasi yang mengusiknya tersebut. Berbagai kearifan lokal dalam memuliakan alam dan lingkungan coba Oka gali dan renungi kembali. Tradisi Tumpek Wariga misalnya adalah kearifan local yang tak hanya cukup dimaknai sebagai ritual dan aktivitas budaya semata namun lebih jauh dari itu adalah sebuah rangkaian nilai nilai yang mencoba mengajarkan kita untuk memperlakukan tumbuh tumbuhan yang merepresentasikan alam secara bijaksana.

Selain Tumpek Wariga sebagai sebuah tradisi ritual menghormati tumbuh tumbuhan, di Bali juga dikenal konsep Tri Hita Karana. Yang artinya adalah tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan. Yakni Parahyangan (yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan),  Pawongan (yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya) serta Palemahan ( yang mengatur hubungan manusia dengan alamnya). Palemahan ini kemudian terimplementasikan dalam berbagai kearifan lokal seperti pelaksanaan ritual Tumpek Wariga yang tersebut diatas, ataupun ritual – ritual yang lain serta yang terpenting adalah sikap, tata cara, dan kebijaksanaan – kebijaksaan yang diwariskan dalam perilaku msyarakat Bali di masa lalu hingga kini. Lihat misalnya bagaimana kearifan masyarakat Bali di masa lalu dalam sistem tata kelola air sehingga melahirkan sistem Subak. Atau yang terlihat sangat sederhana bagaimana perilaku keseharian masyarakat Bali yang kemudian terwarisi sampai saat ini dan menjadi sebentuk keyakinan bahwa setiap habis menebang sebatang pohon maka wajib menanam satu batang pohon lagi sebagai pengganti pohon yang ditebang. Dan masih banyak lagi kearifan – kearifan lokal masyarakat Bali yang terbungkus dalam perilaku keseharian  maupun ritual  yang menyiratkan bagaimana interaksi manusia dengan alam. Sesuatu yang sunguh sangat kontekstual dalam ruang dan waktu. Nilai – nilai tersebut jika dibaca dari sudut pandang psikologi analaitik Jung adalah sebentuk arketip  yang bisa menjadi nilai dasar yang menggerakkkan setiap aktifitas masyarakat Bali, termasuk tentu saja adalah para seniman Bali.
nyanyaian jiwa " Sujana Kenyem "
Berhadapan dengan hamparan visual pada kanvas – kanvas Oka Astawa yang segera dapat terbaca adalah sebentuk abstraksi. Cipratan maupun lelehan yang merupakan karakteristik artistic  yang umum kita lihat pada karya – karya pelukis abstrak adalah hal yang dominan pada karya – karya Oka. Namun cipratan cipratan tersebut terkontruksi menjadi figur – figur dalam berbagai gestur yang terkadang menyiratkan semangat, gejolak, dan kondisi emosional lainnya termasuk juga gestur yang terlihat natural wajar apa adanya. Figur – figur pada karya Oka adalah figur figur anonim, ia bisa menjadi (si)apa saja, bisa saja menjadi dirinya, bisa juga menjadi orang lain, bisa juga menjadi kita, atau bahkan menjadi representasi dari alam itu sendiri.

Oka membiarkan segala emosinya tertumpahkan Ia membuat cipratan –cipratan, lelehan – lelehan yang meluber begitu saja pada satu bidang kanvas. Kemudian Ia melakukan semacam penyeleksian dari hasil tumpahan emosinya tersebut dengan cara memotong – motong bagian dari aneka rupa efek visual tersebut. Potongan – potongan tersebut kemudian ia pindahkan ke bidang kanvasnya yang baru, Ia tata dan kontruksi sedemikian rupa membentuk figur – figur dalam gestur tertentu sesuai dengan gagasan tematik yang hendak Ia sampaikan dalam karyanya. Kerja bertahap dan berlapis, yang ber-ulak – alik dari upaya membebaskan dan membiarkan sepenuhnya emosi tertumpah dalam menciprat lalu berlanjut pada upaya menata kembali, sesuatu yang terlihat “liar” bebas tanpa control tersebut menunjukkan suatu permainan emosi pada diri Oka. Sebuah negosiasi antara keliaran, ekspresif untuk menjadi suatu yang tertata. Ada transformasi dari suatu kondisi disorder menuju order.
Cara Sujana Kenyem dan Oka menghadirkan figur – figur tersebut juga menarik untuk dicermati. Kedua perupa beda generasi ini lebih mengajak semua menjaga alam sebelum semesta murka. (*)




Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.