Sudah lazim tatkala
kelulusan diwarnai coret-coret Baju dan konvoi. Pergunjingan coret-coret wajar
saja tapi ada kalangan yang mencibir ulah pelajar yang meluapkan kegembiraan.
Sulit terbendung tradisi yang sudah mengakar sejak dulu. Penting disini adalah
berikan ruang expresi mereka meluapkan rasa gejolak pelajar selama tiga tahun
menuntut ilmu. Terkadang konvoi yang dilakukan mengganggu ketertiban umum dan
melanggar ketentuan berkendara. Siapa dia pada waktu saat itu pasti melakukan
hal yang sama perjalanan sekali dalam hidup.
Naif jika terus
berkomentar yang pesimis terhadap aksi mereka. Baju yang putih mulus dihiasi
lukisan yang tidak jelas entah apa namanya yang penting ada gambar dan tulisan
yang menandai kelulusan mereka. Hanya yang bisa dilakukan sebagai pelajar
ketika dinyatakan lulus. Boleh saja berkata yang tidak baik dilayangkan salah
satu dari sekian banyak adalah lebih baik baju tersebut dihibahkan kepada adik
kelas. Postitif memang mengasi baju tersebut kepada adik kelas tapi masalah
pergolakan emosi tidak bisa digantikan dengan lainya.
Sadar tau tidak ketika
berada pada posisi itu pasti melakukan hal sama. Cuma, penting disini adalah
bagaimana sekolah menyediakan media untuk ruang mereka menginplementasikan
luapan emosi mereka. Kemungkinan yang tepat disini adalah mural tembok sekolah.
Selain sebagai kenangan di sekolah yang ditinggalkan tentu menambah daya ungkit
sekolah adanya kreasi mural. Jangan berpikir mural hal yang menakutkan jaman
era orba memang paling ditakuti seni mural ini. Jaman sudah berubah, mural
tidak lagi sebagai hiasan yang pergerakan pertentangan. Justru mural lebih
efektif mengarahkan mereka pada ranah berkesenian. Ketimbang mereka coret-coret
yang jelas lebih baik arahkan mereka yang lebih produktif menghasilkan karya
sebagai buah tangan mereka melanjutkan menapak kehidupan.
Oleh ; Santana Ja Dewa
0 comments:
Post a Comment