Dayu Dewi
Pendidikan tidak
serta merta menjamin sebuah kesuksesan seseorang, banyak pebisnis besar lahir,
sukses bukan dari jenjang pendidikan yang tinggi. Ketidakmampuan pendidikan
malah menyulut melakukan sesuatu berkarya dan berkreasi. Hambatan pasti sebagai
batu terjal, keteguhan hati teruji hasil karya yang dihasilkan. Perempuan lebih
lagi, kaum yang dibilang lembut kamayu sudah takdirnya tak mampu bersaing
dengan laki-laki, perempuanpun terus berupaya mengejar hal itu. Perjuangan yang
dilakukan tidaklah mudah, semangat berkreasi memperjuangkan dirinya dihadapan
insan hidup. Semarak kehidupan serba cepat, perubahan menentukan kuatnya bagi
penyembah kehidupan.
Perempuan tidak bisa
diam dirumah, kegelisahan dirinya mengucur memberikan andil sesuatu paling
tidak untuk dirinnya, keluarga hingga sekitarnya. Hal ini yang dialami Ida Ayu
Gede Suwandewi, berlatar belakang pendidikan tak mentereng hal disebabkan karena
suatu hal yakni ekonomi. Keluarga berkecukupan pemicu metelantarkan urusan
pendidikan, ia tetap bersemangat awal-awal memang agak canggung bahkan minder
dengan sesorang. Akrab dengan dunia berkesenian karena orang tuanya adalah
seniman tradisi " pregina " yang tak bisa menggantungkan hidup dari
sana. Jika berkesenian itu hanya pelampiasan kegelisahan berkesenian dalam artian
kerinduan menghibur diri.
Hidup tak bisa
bergantung dari berkesenian, ia tidak dianjurkan berkecimpung berkesenian.
Hatinya tak bisa kelain hati, berkesenian terbentuk dari lingkungannya. Media
seni yang digelutinya, tata rias. Wajah adalah medianya berkesenian. Kebutuhan
akan tata rias dijaman sekarang adalah mutlak, celah tersebut diambil. Awalnya,
tata rias tidaknya urusan pokok saat ada kegiatan ritual atau acara tertentu.
Terdesaknya kebutuhan tata rias, ia menyakini menjadi celah kehidupan yang
terjamin.
Ketertarikannya tata
rias sebetulnya Suwandewi tidak kepincut, tapi tertarik pada semua seni
intinya. Tata rias adalah melukis wajah pada akhirnya dijangkau. Karena kami
dari keluarga tidak mampu, orang tua sangat tidak setuju terjun ke dunia seni.
Pengalaman orang tua menjadi seniman dulu tidak berpenghasilan lebih tepatnya
ngayah. " Keterbatasan ekonomi yang membuat orang tua berpikir harus
belajar di tempat yang cepat menghasilkan uang. Padahal Beliau sendiri adalah
seniman, dan kami keturunan seniman. Tapi karena mungkin merasakan sulitnya
hidup dari hasil yang tidak pasti. Makanya dilarang terjun ke dunia seni. Malah
dipaksa kursus menjahit. Jadi, merias wajah salah satu didalami, " ucapnya
perempuan kelahiran 17 November 1980 yang terpaksa berhenti sekolah pasa
jenjang kelas 2 SMA.
Setelah berkecimpung
tata rias tak seindah ia bayangkan, beragam tanggapan maayarakat sekitar mulai
mencibir, mengolok-olok atau lainya. Niat menaikan kualitas hidup, Suwandewi
berbesar hati tegar menjalani lentera hidup. Hampir semua pekerjaan ia jajal
agar bisa menunjangkan kenginan kursus tata rias. Kenyataan tidak terpola dalam
pikiranya, berbeda. Kursus tata rias tidak berhenti disana, masalah permodalan
pemicu problema berikutnya. Akhirnya mengwujudkan mimpi sebagai tata rias redup
ditelan rembulan. Suwandewi memutuskan melupakan gengsi yang hinggap padanya.
Keterbatasan memicu dirinya kreatif menjajakan jasa salon keliling dari rumah
ke rumah. Pelanggan minta luluran ia layani ditempat luluran yang rekomendasi
bagus, dari situlah ilmu ia dapat, teknik dasar kemudian dikembangkan, begitu
pula dengan treatment yang lain. Semua otodidak. Hal senada dengan merias, ia
pelajari teknik berbagai sumber mulai buku, dari melihat langsung , dan
belakangan dari perkembagan media sosial. Rekomedasi mereka (pelanggan) beragam
ada menilai suka dan ada meremehkan juga banyak. Itu bagian suka duka,
memperbaiki kualitas terus dilakukan demi kepuasan pelanggan. Semakin
disepelekan malah tertantang menunjukan yang lebih baik, malah ia
berterimakasih untuk orang yang meremehkannya.
Sukannya saat
melakoni ini adalah bekerja dengan hati, jadi ketika melihat pelanggan senang,
bahagia, puas dengan hasil yang ia berikan. Senangnya melebihi uang yang di
bayarkan. Duka beriringan ketika suka terlontarkan, terkadang jika ada di
lingkungan yang masih pola pikirnya sedikit primitif, tidak bisa menghargai
orang. Disanalah jasa kita ngga dianggap Kadang seenaknya minta pelayanan
tambahan tanpa melihat situasi kita. Mau ditolak, sungkan, mau dikerjakan
kadang kondisi sudah sangat lelah. Dan apapun kendalanya, kita harus tetap
belajar professional.
Bali, tradisi masih
kuat mengakar dalam kehidupan sehari-hari, prosesi upacara, adat bercampur
menyatu. Begitu dengan tata rias yang tak jauh dari pakem budaya Bali. Jika
berurusan dengan tradisi dan adat tetap mendepankan pakem yang sudah berlaku
walaupun pelanggan minta modifikasi. Kecuali untuk foto, atau untuk resepsi,
bisa gunakan modifikasi serta ketentuan warna biasanya ia sarankan sesuai hari
kelahiran. Misalkan kelahiran Senin, mungkin ia tunjukkan konsep hitam, tapi
yang pasti tetap cantik kecuali untuk potong gigi,biasanya lebih dominan warna
konsep putih dan kuning.
Kepuasan yang sudah
ia dapat tetap merasa haus kenginan terus belajar mengembangkan kemampuan
sebagai tolak ukur. Mengikuti kompetisi adalah jawabannya, ia sempat meraih
juara beberapa kali baik daerah Bali maupun luar Bali. Tapi untuknya juara
bukan prioritas mengukur kemampuan utama. Belajar mengenal kwalitas diri,
mengukur kemampuan diri, melihat perkembangan trend supaya ada inspirasi baru
setelah itu. Penting dari semua itu yakni penilaian masyarakat banyak lebih
memuaskan dibanding piala.
Suwendewi berpesan
bagi mereka yang berkeinginan bergelut tata rias, jika ingin maju, jangan
terpaku pada teori. Kerjakan sesering mungkin, kenali kekurangan demi
kekurangan, jangan cepat berpuas diri, percaya diri boleh tapi jangan sampai
takabur. Karena perubahan dan perkembangan membuat kita untuk harus selalu
belajar.*
0 comments:
Post a Comment