Islamisasi di Nusantara
berlangsung semakin gencar setelah era keruntuhan Majapahit sebagai kerajaan
Hindu terbesar di Nusantara. Berita tradisi dan catatan proto historikal
menyabutkan Majapahit mengalami keruntuhan pada 1400 saka. Setelah kerajaan
Demak berhasi menaklukan Majapahit dengan cepat mampu menyebarkan Islam di
Jawa, mulai dari pesisir hingga pedalaman. Berkuasanya kerajaan Islam Demak
membawa perubahan dalam tatanan sosio kultural masyarakat Jawa yang ditandai
dengan pergumulan politik kebudayaan antara Islam dan Hindu selama masa
transisi. Keruntuhan Majapahit yang kemudian digantikan oleh dominasi Islam di
Jawa tidak semata-mata sebagai pertarungan politik kekuasaan, tetapi kemudian
menimbulkan pula tarik menarik ideo-teologis antara Islam dan Hindu.
Dalam hukum kausalitas
berlaku ketentuan bahwa setiap pertarungan ada yang kalah dan ada yang menang.
Hal tersebut adalah sebuah keniscayaan. Dalam hal ini, ideo teologis Islam
sebagi pemenangnya melalui para wali yang concern menyebarkan Islam melalui
jalur perdagangan, budaya dan perpolitikan elite politik kerajaan yang memiliki
ideologi yang sejalan. Atas kemenangan tersebut, Islam menjadi menjadi penguasa
yang terpisat dan menjadi anutan sehingga kelompok yang masih setia denga Hindu
menjadi kaum terpinggirkan. Sebagai kelompok pinggiran, tidaklah kuasa bagi
mereka melakukan resistensi fisik, sehingga mereka lari ke ruang baru mencari
panggung pertarungan baru, yakni pertarungan wacana. Wacana antitesa terhadap
Islam berwujud dalam sejumlah teks berupa serat yang secara implisit dapat
dikatakan wacana ideo teologis yang sarat nilai politik sebagai bentuk
resistensi terhadap budaya dan agama Islam.
Beberapa serat yang
muncul pada masa transisi sebagai tradisi tulis, seperti Dharma Gandul, Cantrik
Mataram dan yang lainnya merupakan wacana simbolik bagi golongan yang teralienasi.
Wacana tersebut tidak lain sebagai isyarat kebertahanan dan eksistensi kehiduan
yang semakin dilemahkan oleh politik kultural Islam. Oleh karena itu,
serat-serat ini ditulis dengan memunculkan tokoh sentral sebagai tokoh simbolik
yang mengusung tema kehinduan. Salah satu tokoh tersebut adalah Sabdapalon.
Sesungguhnya kemunculan
tokoh Sabdapalon berdasarkan deskripsi dalam buku ini tak lebih hanyalah tokoh
"imajiner". Tokoh yang mewakili makna simbolik yang kuat sebagai
penyampaian pesan perlawanan ideologi keagamaan. Sabdapalon adalah simbolisasi
dari kebudayaan Hindu, dengan kata lain ia adalah culture hero bagi Hindu yang
terhegemoni oleh kebudayaan Islam. Bahkan dalam buku ini dengan tegas
dinyatakan bahwa Sabdopalon sebagai punakawan merupakan simbol mesianis (ratu
adil) bagi tanah Jawa. Maksud lainnya, hal tersebut sebagai sebuah penegasan
bahwa hanya Hindu yang dapat mengajegkan tanah Jawa, dan hanya Hindu sebagai
kepercayaan yang dapat menegakan kembali Agama Budhi.
Jadi kemunculan tokoh
ini merupakan gerakan intelektual yang berantitese dengan kemunculan budaya
baru. Sebab hal-hal yang baru tidak selalu memberikan reaksi kenyamanan bagi
sekelompok orang yang sebelumnya sudah merasakan kehidupan nyaman. Hal-hal yang
bersifat kebaruan selain menawarkan harapan juga membawakan sejumlah
ketidakpastian dan ancaman terhadap harmoni yang ada. Oleh sebab itu, ketika
arus globalisasi (bahkan sudah glokalisasi) menyerbu Indonesia, maka
bermunculan respon positif dan negatif. Di Bali reaksi yang muncul sebagai
respon terhadap budaya global adalah jargon Ajeg Bali yang mewacanakan
keindahan, kedamaian, keluhuran, keaslian jati diri Bali dan kekokohan budaya
yang diposisikan secara oposit dengan arus global yang identik dengan
kapitalisme ekstrim. Arus global yang demikian dianggap mengancam equilibrium
harmoni Bali.
Pada akhirnya,
Sabdapalon hanyalah mewakili sebuah potret kegelisahan kaum yang tertindas yang
melakukan pembelaan diri dan promosi identitas kelompok melalui wacana dalam
teks. Hingga pada akhirnya buku ini memberikan keterangan siapa Sabdopalon saat
ini, yang berbicara atas nama identitas diri kebalian dan keindonesiaan di
tengah hegemoni budaya global. Konteks Sabdopalon dengan zaman sekarang adalah
kebutuhan akan munculnya "tokoh" yang mampu melakukan pembelaan diri
dan melakukan reproduksi keunggulan budaya bangsa sendiri ditengah persaingan
budaya global. Hanya dengan cara produksi "wacana" disertai dengan
"laksana" berkarakter sesuai dengan budaya Nusantara, maka sebuah
peradaban yang adiluhung akan tetap ajeg. Lebih jauhnya pergumulan tersebut
begitu jelas dipetakan dalam buku ini. Sebuah karya dari intelektual Hindu yang
mempuni. Menjadi editor dari karya beliau sesungguhnya secara tidak langsung
dapat belajar untuk memasuki cerukan pemikiran sang profesor budaya agama.
*Catatan Editor : I
Ketut Sandika
*Buku oleh: Prof. Dr.
Drs. I Nengah Duija, M.Si.
*dapatkan di toko buku
Gramedia wilayah Bali
#rahayu
0 comments:
Post a Comment