Kekuatan “ Rasa “ Dalam Masa




Selapas menuntaskan studi pendidikan seni di salah kampus seni ISI Jogjakarta, mereka kembali asal. Persahabatan mereka terlalin intens walalupun jarak yang memisahkan, kelima sahabat ini adalah Agung Tato Suryanto (Surabaya), Agustan (Jakarta) , Angga Sukma Permana (Yogyakarta) , Made Kenak Dwi Adnyana ( Bali), dan M. Muhlis Lugis (Makasar). Melepas kerinduan mereka secara bersama menggelar pameran Dari masa Ke Rasa#1 di Surabaya. Tahun ini, mereka kembali menggelar pameran bertajuk sama yang diselenggarakan di Santrian Gallery, Sanur, Denpasar.

Dari Masa ke Rasa#2, tajuk pameran bisa dibilang terlalu umum untuk memberi kepada kita semacam petunjuk khusus untuk memahami apa yang hendak disajikan oleh para seniman muda ini. Dalam pengantar yang mereka tawarkan, judul ini berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan selama mereka melakukan proses berkesenian dengan menempa diri, mengasah ketrampilan, dan meningkatkan pengetahuan yang membuat karya-karya mereka memiliki ‘kekuatan rasa’. Walau terlampau umum danmungkinbiasa terjadi pada banyak kelompok seniman lain, akan tetapi dengan melihat beberapa aspek, kita akan mendapatkan beberapa petunjuk mengapa ‘masa’ dan juga ‘rasa’ ini perlu mereka ketengahkan.

Penulis pameran sangat spesial memaparkan publik pecinta seni, karena melibatkan dua penulis selain I Made Susanta Dwitanaya, kahadiran Rain Rosidi. Kalaborasi apik dua penulis menyudutkan makna dibalik tajuk pameran. Karya yang dihadirkan dalam gallery berjumlah 23 karya yang terdiri dari karya lukisan dan karya grafis (cukilan) selama 30 Desember mendatang.

Pilihan menggunakan ‘rasa’ sebagai bagian dari judul pameran dalam pandangan saya berkaitan dengan situasi yang bukan hanya terjadi dalam proses kreatif mereka, namun juga merupakan bagian dari reaksi terhadap apa yang mereka hadapi dalam situasi sosial seni rupa di Indonesia, “ kata penulis pameran Rain Rosidi.

Ia menilai perkembangan seni kontemporer yang mulai marak di tahun 1990an, ditandai dengan menguatnya seni konsep yang cenderung bermuatan sosial politik plus penampilan kembali seni tradisi dengan baju baru (tradisi yang dimodernkan). Dua macam kecenderungan yang sempat dicatat oleh Asmudjo dalam buku Outlet ini menjadi wacana kuat dalam praktik seni kontemporer di Indonesia.

Menguatnya wacana seni konseptual patut diduga ikut andil meminggirkan seni yang berbasis teknis belaka. Dalam kaitan dengan hal ini, para seniman dalam kelompok ini cenderung untuk mengembalikan semangat teknis dalam berkarya. Bagi mereka, teknis juga mengandung gagasan dalam dirinya. Hal tersebut merupakan salah satu manifestasi dari ketegangan yang dialami di dalam pendidikan akademis.Salah satu ketegangan yang dirasakan oleh para seniman terdidik adalah ketegangan antara teknik dan konsep. Kedua hal itu seakan saling memakan, sehingga apabila seniman mengutamakan konsep, akan mengabaikan teknik, dan begitu pula sebaliknya.

Hal serupa pandangan I Made Susanta Dwitanaya, kehadiran mereka kini di Bali dalam pameran Dari Masa ke Rasa #2 adalah sebuah penegasan bahwa walaupun kebersamaan mereka kini terpisahkan oleh jarak dan aktivitas masing masing mreka masih bisa tetap bersama sama dalam menjaga komitmen yang telah mereka tetapkan bersama sejak di Yogyakarta dulu hingga kini. Kebersamaan yang mungkin saja dilandasi oleh cara pandang mereka yang memandang esensi dari dunia kesenian dimana rasa adalah hal yang vital didalam berkarya seni rupa.

Pameran tersebut, Susanta juga terlibat menjadi salah satu penulis yang mencoba membaca dan memaknai peristiwa pameran yang mereka gelar. Menurutnya, tentu saja tidak berhenti menjadi pameran “ajang reunion” dari lima orang sahabat seangkatan, melainkan ada sebuah gagasan dan kesadaran untuk tetap bergerak bersama dalam momentum momentum pameran untuk mempresentasikan karya – karya mereka yang mencoba melihat fenomena berdasarkan eksplorasi mereka pada kekaryaan masing masing.

Pertemuan kelima perupa 2012 silam di jogjakarta, ketika mereka sama-sama menempuh studi pascasarjana di ISI Yogyakarta. Ada dalam angkatan yang sama, membuat persahabatan mereka berlima terjalin erat, mereka sering larut dalam diskusi yang berujung pada adanya satu komitmen untuk mengadakan event pameran bersama. Walupun secara tegas mereka tidak pernah mendeklarasikan sebuah kelompok namun gairah kreatif untuk hadir bersama dalam sebuah event pameran terus mereka gulirkan.

Selepas studi di tahun 2015, mereka terpisahkan satu sama lain, sebagian besar kembali ke tempat asal mereka sebelumnya dan sebagian lagi merantau ketempat yang berbeda. Namun keterpisahan jarak ini tak serta merta memutus begitu saja komunikasi dan ikatan persahabatan antar mereka, komitmen awal untuk hadir dalam event pameran bersama ternyata tetap terpupuk diantara proses kreatif mereka masing-masing. (*)





Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.