Cegah Korupsi,Meresapi  “Tetua” Orang Bali


I Ketut Sandika 



Leluhur Bali sebagai masyarakat tradisional begitu kuat sikap kebersyukurannya dalam memaknai kehidupan. Sikap syukur tersebut terejawantah dari kesederhanaan masyarakat menjalani kehidupan. Sikap bersyukur atas karunia diwujudkan dalam bentuk yadnya dan bhakti kepada dewa-dewa. Pengormatan atau bhakti kepada para dewa jauh lebih penting dari apapun, sebab kesejahteraan dan kesuburan adalah karunia dari para dewa. Terlebih masyarakat Bali dulu memiliki pola hidup agraris. Jadi kesuburan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan mereka. Cukup hanya bisa melangsungkan kehidupan dan beryadnya sekiranya sudah cukup. Hal tersebut terlihat dari sikap orang Bali yang belajar mengiklaskan semua miliknya untuk persembahan. Selain itu, hingga kini masih terdengar beberapa nasehat bijak tetua Bali agar kita selalu dapat mensyukuri hidup. Sebut saja kata “Aget” atau “beruntung” selalu diperdengarkan ketika orang Bali mengalami sesuatu.



Misalnya “I Wayan Labuh aget sing mati, I Made kemalingan umahne aget ia tusing matiange, Ni Nyoman suwudina ajak kabakane aget suwudina nak kabakane preman”, dan seterusnya. Jadi kata “Aget” sesungguhnya terkandung makna kebenerimaan segala kondisi dengan sadar. Artinya bersyukur atas segala yang dimiliki, sehingga tidak lagi ada sikap loba atau momo. Hingga kini masih dapat dijumpai ajaran leluhur Bali, bahwa sikap momo adalah cerminan sikap raksasa yang sangat rakus, dan orang yang demikian sering disebut kalaan atau jeleme kalaan. Tetapi orang Bali kini banyak tak mampu mengaplikasikan sikap kebersyukuran dan kebenerimaan pada saat kondisi apapun. Sikap momo sangat tumbuh subur dalam diri orang Bali. Sebagaimana selorohan yang sering didengar “suba ngelah besik angih dadua, suba ngelah dadua nagih tetelu, suba tetelu nagih patpat:, dan seterusnya. Selorohan tersebut menandakan sikap lobha dan rakus dan tidak pernah bersyukur akan apa yang dimiliki.



Orang Bali sedari dahulu memegang teguh prinsip Karma Phala. Jadi orang Hindu di Bali sangat percaya bahwa perbuatan apapun akan mendatangkan hasil. Selorohan orang Hindu Bali sangat begitu lazim terdengar, yakni “karma phala suba cicih”. Artinya Karma Phala sangat cepat terjadinya, sehingga perbuatan buruk maka akan menerima akibat yang buruk dan sebaliknya perbuatan baik akan mendatangkan hasil kebaikan. Jadi prinsip yang demikian sesungguhnya begitu sangat kuat tertanam dalam benak orang Bali. Bagi orang Bali sendiri, korupsi merupakan perbuatan yang tidak baik. Tentunya melakukan tindakan korupsi, maka akan mendatangkan keburukan dan penderitaan. Sebab Karma Phala adalah keniscayaan, dan terlebih lagi ada kerifan lokal yang berkembang dalam lingkungan sosial di Bali, yakni sebuah frase yang logis “yen mula jagung pasti jagung mupu, yen mula kesela kesela pasti lakar mupu” (jika menanam jagung pasti akan memanen jagung, jika menanam ubi pasti ubi akan dipanen). Artinya, jika seseorang menanam perbuatan buruk, maka ia akan memanen perbuatan buruk. Sebaliknya jika seseorang menanam perbuatan baik maka ia akan memanen kebaikan dalam hidupnya. Konsep tersebut sesungguhnya dapat dijadikan formulasi dalam memperkuat ketahanan moral masyarakat Bali untuk memerangi korupsi. Namun belakangan keyakinan akan Karma Phala dan segala kearifan lokal Bali telah terkikis oleh budaya kapitalisme global, dan budaya agama pasar. Jadi uang didewakan, sehingga demi pemuasan hasrat lahiriah yang semu banyak orang mengabaikan norma moral dan menjadi korup.

Hal ini disampaikan Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, I Ketut Sandika,S.Pd.M.Pd, Kamis (16/11), memang tidak dapat dipungkiri bahwa gaya dan pola hidup manusia Bali sudah modern dan hal tersebut dirasa wajar sebab Bali selalu terbuka dengan budaya lain.

“ Tetapi disisi lain saya melihat tidak sepenuhnya manusia Bali meninggalkan konsep tetua Bali, dan ada beberapa yang masih dipertahankan dan dijalankan sebagai laku kehidupan. Adalah keharusan konsep tersebut tetap dipertahankan dan dijalankan sebagai sebuah bentuk pertahanan Bali terhadap pengaruh neo culturalisme (baca budaya baru/modern). Meskipun pada kenyataanya sangat banyak konsep leluhur Bali yang adiluhung dan relevan terhadap kondisi zaman terdegradasi oleh desakan budaya baru. Tetapi kembali lagi, bahwa ada beberapa konsep yang masih tetap dilakoni sebagai sebuah jalan hidup yang memiliki nilai relevansi sepanjang zaman, “ tuturnya.



Sebut saja konsep “Menyama braya, sagilik saguluk salunglung sebayantaka” yang dimaknai sebagai konsep kekeluargaan dan gotong royong dalam lingkungan sosial Bali. Kemudian konsep “Nandurin Karang Awak” yang diartikan sebagai seni memperdayakan diri sebagai sebuah usaha dan kerja keras untuk meraih kesuksesan hidup secara niskala-sekala. Tentunya kerja keras dilandasai sikap jujur (satya) dan memegang prinsip dharma (kebenaran). Sebab keyakinan leluhur Bali, bahwa perbuatan baiklah yang akan melindungi kita. Ketika kita dapat berlaku jujur dan merfleksikan sikap dharma maka dimanapun kita tidak akan takut. Justru kitalah disegani dan diberikan perlindungan selalu oleh perbuatan kita, dan dewa kematianpun begitu enggan untuk mendekati kita sebab kita selalu memunculkan sikap dharma sadhu.

Faktor keluarga dan lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya. Keluarga adalah sebagai lembaga tertua dalam pendidikan. Keluarga yang baik akan menerapkan pola asuh terhadap anak-anak mereka agar memiliki karakter yang baik. Dalam keluarga orang tua menjadi guru yang utama dalam mendidik anak dan orang tua hendaknya dapat menjadi panutan anak, sehingga anak memiliki figur yang ditauladani. Seorang anak dalam keluarga masih memerlukan pengembangan mental yang baik, dan sejak dini hendaknya diberikan sentuhan spiritual dan orang tua yang memegang peranan penting. Orang tua yang baik akan menjadi sosok “idola” dalam alam pemikiran mereka sehingga selamanya sang anak respect terhadap orang tua dan orang lain. Di Bali sesungguhnya pola asuh anak dalam keluarga sudah diajarkan sedari dulu sesuai dengan konsep ajaran agama, dan dalam lingkungan sosial mereka diberikan wadah belajar di lembaga ada, yakni sekaa teruna. Dalam wadah tersebut, mereka diajarkan dengan berbagai macam pengetahuan praktis terkait etika dan norma sosial. Tetapi, hal tersebut sangat bergantung pada pendidikan, baik pendidikan di informal, non formal dan pendidikan formal.



Pendidikan informal, yakni dikeluarga sangat penting anak dididik sejak dini sebab karakter anak sangat mudah dibentuk. Lain halnya membentuk karakter orang yang sudah tua, pasti sangat sulit. Anak usia dini memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang baik, sehingga mendidik mereka sejak dini akan menjadikan mereka memiliki karakter yang kuat. Selain keluarga, pendidikan dalam lingkungan non formal, yakni masyarakat juga sangat penting. Masyarakat Bali diikat oleh sistem desa pakraman, dan melalui desa pakraman seorang anak didik untuk mematuhi norma adat dan norma agama. Kemudian dalam pendidikan formal melalui lembaga pendidikan anak hendaknya didik dengan menonjolkan pada perubahan sikap (afektif). Sebagaimana makna pendidikan sesungguhnya adalah adanya perubahan sikap dan kedewasaan dalam bersikap. Jadi ketiga lembaga pendidikan sangat penting menanamkan moralitas dan karakter agar nantinya SDM kita memiliki karakter dan moral yang baik. Selama ini pendidikan hanya berupaya menanamkan mereka konsep dan pelajaran yang bersifat hafalan, tanpa adanya pengalaman. Pelajaran agama hanya mengajarkan anak untuk memiliki rasa keagamaan (to have a religion). Seharusnya pelajaran agama menjadikan siswa beragama, dan dalam artian melakoni kehidupan dengan norma agama sehingga menjadi orang beragama (to be religion). (*)



Oleh : Santana Ja Dewa






Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.