I Putu Sudiana salah satu seniman yang marang melintang di dunia seni
lukis abtrak . Seniman satu ini sudah dikenal kalangan seniman. Justru I Putu
Sudiana dikenal dengan sapaan Putu Bonuz.
Tak terhitung pameran yang telah diikuti baik dalam negeri maupun luar
negeri. Beberapa bulan yang lalau Bonuz
mengikuti pameran di Kualau Lumpur Malaysia. Di pulau tandus Nusa Penida Bonuz dilahirkan
tepatnya di Dusun Batumulapan , Desa Batununggul , Kecamatan Nusa Penida. Alumni
STSI Denpasar yang sekarang menjadi ISI Denpasar. Dengan intensitas itu
menjadikan dirinya seperti menyatu dengan bahasa rupa abtrak, bisa dikatakan
Bonuz mengalami zona yang penuh dengan kenyamanan dengan gaya ungkap tersebut.
Ekpslorasi artistiknya sudah begitu otomatis ketika ia menggerakkan kuas
dan palet untuk menyapu warna pada
permukaan kanvas, pun ketika dikombinasikan dengan lelehan, torehan serta garis
yang langsung dari plototan tube untuk membuat efek-efek ekspresif pada
karyanya. Perasaan dan emosinya mengalir dan terluapkan dalam proses berkarya
kemudian menjelma dalam komposisi unsur-unsur rupa dalam karyanya.
Dalam zona kenyamanan tersebut rupa-rupanya ada yang bergejolak dalam
dirinya, ada sebuah daya yang mulai menyangsikan kenyamanan itu dan terbesit
pertanyaan dalam diri; jangan-jangan di balik semua itu ada jebakan yang dapat
menjadikan kreativitasnya berangsur-angsur mengalami stagnasi. Memang harus
disadari sebuah kondisi tertentu dalam kenyataannya pasti mengandung sisi paradoks,
nyaman, mengalir dapat berimplikasi pada rutinitas, terlebih lagi tidak ada
daya kritis untuk mengevaluasi dan mempertanyakan kondisi tersebut maka yang
terjadi adalah stagnasi dan tidak berkembang. Menyadari kondisi tersebut ia
mulai gelisah dan semakin intensif melakukan pergulatan dalam dirinya sendiri
mencari jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Bersamaan dengan kebimbangan dalam kehidupan artistiknya itu, Bonuz
pun mulai memantapkan kehidupan spiritualitasnya hingga akhirnya terbesit ide
untuk membawa pengalaman spiritual tersebut menjadi pengalaman estetis, yang
kemudian ditransformasikan ke dalam karya seni. Presentasi pamerannya kali ini
Bonuz merelisasikan ide tersebut pada karya-karyanya dalam bentuk instalasi,
video dan performance art di samping
juga tetap menyisipkan karya seni lukis, dalam rajutan tema “Releksi Nafas”.
Merupakan sebuah ritus “kebaktian—permohonan, nafas—kesadaran, terhadap semesta,
melalui aktivitas—karma” tandas Bonuz, dalam konteks kesenian adalah karma adalah
aktivitas artistik dan aktivitas keseharian serta aktivitas spiritual.
Pergulatan panjang Bonuz yang bersumber dari daya kritis terhadap diri
dan kehidupan keseniannya selama ini berbuah keberanian dalam menguak belenggu
terhadap kreativitasnya. Berkas-berkas lama hasil nukilan perasaan yang
tertuang dalam tulisan, dan juga sketsa-sketsa iseng, tiba-tiba kini menjadi
sumber yang kaya dengan ide-ide yang dapat divisualisasikan menjadi karya seni.
Secara perlahan tapi pasti Bonuz mulai merajut kembali pasel-pasel yang
tersimpan dan berceceran dalam kotak pandora dokumentasinya, yang kemudian
dielaborasi dengan pengalaman spiritual yang telah dijalaninya.
Muncul kesadaran bahwa dalam pengalaman tersebut tidaklah terpisah
dengan aktivitas kesenian, karena di
dalamnya mengandung pengalaman estetis yang dapat digerakkan menjadi sumber
inspirasi bagi kreativitas
kesenirupaan. Inilah spirit dan babak
baru bagi kretivitas IPutu Sudiana “Bonuz” geliat tersebut dapat disaksikan
dalam projek presentasi tunggalnya,
dengan semangat baru, dapat memantapkan kepercayaan dirinya untuk
semakin “gila” dalam berekplorasi estetis. Melalui gagasan-gagasan yang semakin
“liar” tak terbebani dengan satu medium saja, tak terbatasi oleh dimensi kebentukkan tertentu, karena era kontemporer
ini adalah zona yang terbuka dengan berbagai eksplorasi dan kecenderungan. Jadi
kenapa harus membatasi diri, jika dengan perluasan ekplorasi berbagai medium
nilai estetis semakin berkembang dalam keluasan makna dan nilai, karena
sejatinya seni memiliki dimensi yang
luas.
Bonuz
saat dikomfirmasi lewat emailnya, memberi ketegasan bahwa dunia ideal dalam
bacaan sebagai ruang spiritual, tidak menjadi semata kebutuhan individu dengan
ide-ide spiritis pribadi. Bonuz dalam wilayah ini telah menjadi bagian dari
konsensus publik; urusan spiritual juga menjadi semacam kesepakatan komunal.
Pendeknya Bonuz, ulang-alik memerankan posisi individu dan publik dalam
kerangka relasi spiritual. Menjadi beralasan kemudian ketika membaca jalan
kreatif Bonuz, akan berjumpa pada deretan artefak seni rupa yang secara
psikologis terasa mengobarkan ruang-ruang spiritis manusia timur.
Sejarah
seni rupa dunia telah mencatatkan betapa ruang-ruang spiritual manusia tiap
zaman terekspresi dalam karya visual. Dari adab paling primitif, lewat temuan
patung tanah liat berupa stilisasi figurasi genetikal manusia; venus, di Bali
dikenal dengan lingga dan yoni, sampai adab Renaisance dengan penggambaran
berbagai ajaran relegi, atau bacaan mitos dewa-dewa yang memengaruhi tradisi gambar
wayang di dunia timur, atau pun sampai pada temuan abstraksi seperti dikobarkan
Wassily Kandinsky; spiritualitas senantiasa aktual dalam karya seni rupa.
Terbukti gejala spiritualitas juga tetap mewarnai praktek seni rupa kontemporer
hari ini.
Karya
Bonuz, paralel dengan tilas sejarah ini, di mana kondisi-kondisi kejiwaan dan
aktivitas sehari-hari yang penuh dengan riwayat ritus, akhirnya bermuara pada
visual karya. Bonuz memang tidak memilih jalan asketik yang ektrem, yang harus
menjadi pertapa di hutan-hutan, tetapi memilih untuk tetap menjaga sosialita
dunia seni bersama komunitas seniman kota, dan juga masyarakat desa.
Bonuz,
seperti berjalan di antara spritualitas sebagai ritus dan aktivitas obsesif
dalam bathin. Dalam pewarisan tradisi ritus Hindu-Bali, Bonuz hadir sebagai
“pemangku”, pemimpin jalannya upacara, terutama upacara adat di pura keluarga.
Sementara dalam pendakian spiritis bathin, ia melakukannya dengan melatih fisik
dan pikiran. Intuisinya bermain-main di antara kerinduan untuk menuai jawaban
atas hal-hal keilahian dengan memandang semesta alam sebagai ruang pijak.
Keilahian dijelajahi dan dicari di alam yang tampak.
Simak
misalnya karya lukisan dengan judul “Red in The Sky”, atau seri “Full Moon”,
dan juga karya “Bayangan di Langit”, sangat terang menjelaskan betapa alam
dijadikan tumpuan untuk mencari jawab atas obsesi penemuan ruang keilahian.
Boleh jadi kesempurnaan Tuhan di bumi, nampak pada fenomena alam. Dalam visual
karya, warna dan komposisi hadir spontanitas, yang diperjuangkan lebih pada
eksplorasi keruangan imajiner dalam karya. Muatan rasa, dalam pengertiannya
sebagai kondisi-kondisi bathin menjadi dominan. Artinya, abstraksi hanya
merepresentasikan ruang imaji tentang alam semesta. Bukan pada upaya peniruan
kesan kenyataan fotografis, karena yang dipentingkan adalah akslerasi obsesi
keilahian. Jawaban obsesi ini diketemukan pada fenomena alam semesta; antara
visual yang bisa ditatap, dengan visual yang dirasa berdialog.
Karya-karya
seni lukis yang dihadirkan pada pameran “Inside Bonuz Sudiana” kali ini, memang
lebih merepresentasikan abstraksi sebagai muara dari pengalaman bathin. Hal
paling diutamakan adalah mengemukanya kesan ruang imajiner. Abstrak sebagai
riwayat formal elementer mulai ditinggalkan. Pesan yang sama juga bisa dipetik
dari visual karya instalasinya yang bertajuk “Mempersembahkan Hati”, walau ada
repetisi objek, tetapi secara kesan lebih menguak suasana spiritis.
Apabila
sekarang ditautkan dengan puisi-puisi yang dia tulis di status facebooknya,
ambil salah satu berjudul Suara Pagi Ini,
berbunyi: “Setiap pagi//aku selalu disapa suara genta//juga suara kidung suci
yang dikasetkan//berkumandang di seputaran rumah kecilku//tak mau kalah suara
perkutut piaraanku//juga harum dupa//seperti bersinergi//tanpa komando//tapi
merdu..merdu sekali//menyamankan jiwa//damai…!//Pemilik semesta kini hadir
semakin dekat”. Paling tidak ada tiga hal yang diterangkan saling berkait;
seisi semesta adalah energi pendorong (diwakili ungkapan: setiap pagi, suara
genta, suara perkutut dan lain-lain); rasa dan intuisi merupakan media
penerjemah (ungkapan: merdu dan menyamankan jiwa); keilahian adalah tujuan
(ungkapan : Pemilik semesta). Apa yang ditulis ini, boleh jadi sebagai
pengakuan spontan, betapa fenomena spiritis menjadi begitu mengikat obsesi
bathin dan tubuh.
Menjadi
tidak berlebihan kemudian bila saya meringkas catatan ini dengan menyatakan,
bahwa praktek seni rupa Bonuz Sudiana berjalan di antara riwayat ritus dan
praktek bathin untuk mencari makna keilahian. Fenomena alam, menjadi energi
pendorong, sementara temuan-temuan gejala keilahian pada alam dibaca sebagai
upaya pemenuhan kepuasan bathin dan juga artistik seni rupa. Jadi, membaca
karya Bonuz sudah semestinya menimbang dunia keseharian Bonuz, dalam konteks
ini berkait dengan riwayat laku spiritual yang diyakini dan dilakukannya. # (Santana ja Dewa)
0 comments:
Post a Comment