Tari Gandrung Bangunurip berkaitan erat
dengan sejarah adanya Banjar Bangunurip. Pada jaman dulu di sebelah tenggara
pulau Nusa Penida terdapatlah sekelompok orang yang mendiami wilayah tersebut.
Mereka bisa menjalani rutinitas sebagai petani. Pada musim penghujan mereka
bercocok tanam, ada yang menanam ketela,ubi, Semangka dan tanaman yang lain.
Setelah beberapa bulan tanaman mereka tumbuh subur dan berbuah lebat. Suatu
hari salah seorang dari mereka melihat buah semangkanya banyak yang hilang dan rusak.
Petani itu marah siapa gerangan yang mengambil dan merusak buah semangka saya.
Keesokan harinya dia berjaga dan sembunyi di kebunnya untuk melihat siapa yang
mengambil dan merusak buah semangkanya, tak lama berselang datanglah seekor
burung raksasa yang sangat besar hinggap di kebun petani itu, dan memakan buah
semangka miliknya. Kemudian petani itu pulang untuk mengambil tali (benang),
karena dia penasaran kemana buah semangkanya dibawa oleh burung itu, kemudian
dia mengikatkan dirinya pada ‘’tegil’’ ( tanduk kaki burung) brung raksasa itu.
Setelah kenyang burung itu pun terbang bersama petani kearah selatan hingga
tiba disebuah telaga. Burung itu pun turun minum segera petani itu melepas tali
ikatan pada kaki burung itu dan ikut meminum air telaga itu sekalian untuk
dibawa dalam perjalanan nanti dengan mengunakan tempat seadanya yaitu “papuhan”
(tempat kapur sirih).
Keesokan
harinya burung itu lagi terbang mendatangi kebun yang berisi buah semangka
milik petani itu. Petani itu segera mengikat dirinya pada kaki burung itu, tibalah
dikebun semangka. Petani melepaskan ikatannya dan bergegas [ulang, dalam
perjalanan pulang dia haus dan akan meminum air telaga yang diambilnya ketika
dia membuka tutup papuhan, airnya sedikit tumpah dan mengenai batang kayu yang
mati didekatnya, tiba-tiba batang kayu itu tumbuh kembali, petani itupun heran
dan segera membawa air itu pulang. Suatu hari ada warga yang sakit kemudian dia
mencoba memperciki dengan air tersebut orang itupun lekas sembuh. Berita itu
tersebar luas sehingga banyak orang
sakit berdatangan untuk meminta pertolongan dari petani tersebut, hingga berita
itu sampai pada raja Klungkung. Tempat petani itu dikenal dengan nama Banyu Urip.
Sang raja memanggil petani untuk menghadap kekerajaan Klungkung dengan membawa
air tersebut (Banyu Urip) kemudian banyu urip itupun diambil oleh sang raja. Setibanya
di Banyu Urip petani itu menyampaikan kepada anak-anaknya bahwa air tersebut
telah diambil oleh sang raja, supaya pengobatan yang dilakukan oleh petani itu
kemudian dia membangun kesenian berupa tari yang disebut Tari Gandrung. Tari
Gandrung di tarikan oleh dua orang anak laki-laki yang belum menginjak dewasa
dan seorang “Banyol” (pelawak) sebagai penari, selesai menari si penari
gandrung ini mengunyah daun sirih, buah pinang, kapur sirih dan gambir.
Kemudian air kunyahan itu akan di oleskan pada orang yang sakit oleh “banyol”
(lawak) dengan sarana upakara pras pejati lengkap dengan canang pitulikuran.
Air sirih itu sebagai ganti dari Banyu Urip yang telah diambil sang raja dan
itu telah dibuktikan berkali-kali oleh masyarakat yang sakit di Desa Batukandik
pada khususnya dan Nusa Penida pada umumnya.Sejak saat itu Banjar Banyu Urip di
kenal dengan Bangunurip sampai dengan sekarang. Setelah meninggal penemu ini di
kubur di pura Geria Banjar Adat Bangunurip, Desa Pekraman Batuykandik, dengan
nama Ida Pandita Empu Dharma Sujati, karna semasa hidupnya beliau sudah di
sucikan (medwi jati/mediksa).
Narasuber : I Wayan katon
Editor : Santana ja Dewa
0 comments:
Post a Comment