Oleh : I Ketut Sandika
Agama Hindu di Bali mengenal konsep Tri Hita Karana,
yakni tiga hal yang menyebabkan harmonis, seperti Parhyangan hubungan yang
harmoni antara manusia dengan Tuhan, Pawongan harmoni dengan sesama, dan
Palemahan hubungan harmoni dengan alam. Konsep tersebut berakar dari tradisi,
dan beberapa sumber lontar yang memuat berbagai hal tetang bagaimana membangun
harmonis dengan ketiganya untuk mewujudkan Jagadhita Loka Samgraha (baca:
Rahayu sejahtera Bersama). Dalam aspek Palemahan misalanya, ada beberapa sumber
lontar yang sebaiknya diacu dalam menciptakan hubungan harmonis dengan alam
sebagai Bhuta Hita. Sebut saja lontar Wiswakarma yang dibuat oleh Bhagawan
Wiswakarma sebagai arsitekturnya para Dewa.
Selain Lontar Asta Bumi, lontar Wiswakarma hadir sebagai
teks yang diacu oleh leluhur Bali untuk bagaimana mereka memperlakukan alam.
Termasuk juga membangun rumah sebagai tempat hunian. Ada beberapa aturan dan
hal yang paling prinsif untuk diperhatikan, baik dari segi tata letak Sikut
Satak maupun tata letak bangunan dan wilayah tanah (bumi) yang akan dibangun.
Sebab dalam teks menyebutkan bahwa rumah adalah badan kedua setelah raga ini.
Sebagaimana badan, rumah semestinya juga dibangun dan dirawat dengan baik,
sehingga ada kenyamanan dan lingkungan rumah sangat mempengaruhi psikis,
karakter bahkan perilaku sesorang. Oleh karenanya, membangun rumah Adat Bali
maupun rumah apapun mesti menggunakan tatacara yang baik yang didasarkan atas
Wastu (perhitungan) yang tepat. Terlebih teks Wiswakarma menyebutkan bahwa
Rumah adalah Spirit, dan ia hidup sesungguhnya yang dapat memberikan
keberuntungan dan kemakmuran terhadap pemiliknya.
Berdasarkan atas hal tersebut, berikut ada beberapa
hal yang diperhatikan ketika membangun rumah dalam Karang hunian: 1) Karang
Labha, yakni posisi karang lebih tinggi di Barat dan sedikit miring ke Timur
menuju arah jalan dan jalan menuju pusat Kota. Karang demikian disebut Manemu
Labha, sebab sinar matahari tidak terhalangi dari pagi hingga sore dan membawa
keberuntungan dan umur Panjang. 2) Paribhoga Werdhi, yakni tanah yang miring
sedikit ke utara, membawa kemakmuran yang melimpah. 3) Palemahan Asah, yakni
matahari akan bersinar penuh sehingga membawa Ayu atau sejahtera yang
menghuninya. 4) Palemahan Inang, yakni tidak ada pepohonan yang besar-besar
dipekarangan dan akan membawa ketentraman lahir dan batin. 5) Palemahan Cabe,
jika dicongkel sedalam 30 cm maka akan berbau bumbu dapur dan sangat baik sebab
akan mendatangkan keberuntungan.
Kebalikan dari itu, ada beberapa karang yang sama sekali
tidak diperbolehkan untuk mebangun tempat tinggal, seperti: 1) Karang
Karubuhan, yakni pekarangan yang berhadap-hadapan dengan perempatan dan
pertigaan sebab akan mendatangkan ala. 2) Karang Sandanglawe, adalah pekarangan
yang pintu masuknya berpapasan langsung dengan pintu masuk pekarangan orang
lain, sebab akan mendatangkan marabahaya. 3) Karang Kuta Kabanda adalah karang
yang dihimpit oleh ruas jalan, dan sangat membahayakan penghuninya. 4) Karang
Sula Nyupi adalah pekarangan yang berpapasan dengan jalan atau numbak rurung
dan akan membuat penghuninya sakit-sakitan. 5) Karang Gerah yakni pekarangan
yang terletak di hulu Pura Parhyangan dan akan menyebabkan duka bagi
penghuninya. 6) Karang Tenget adalah pekarangan bekas kuburan, pura, dan
pertapaan. 7) Karang Buta Salah Wetu adalah pekarangan dimana pernah ada
kejadian aneh, seperti adanya orang bunuh diri, bencana alam, dan hal-hal aneh
berupa pisang bercabang, sapi melahirkan anak berkepala gajah dan yang lainnya.
8)Karang Boros Wong, pekarangan yang memiliki dua pintu masuk, akan menyebabkan
penghuninya boros. 9) Suduk Angga adalah pekarangan yang dibatasi oleh pagar
tanaman yang akarnya sampai masuk ke dalam rumah dan pekarangan orang lain. 10)
Karang Kalingkuhan, pekarangan yang dikelilingi jalan atau rumah orang lain
yang tidak ada jalan masuk ke pekarangan rumah, dan yang fatal dan menyebabkan
ala adalah membangun rumah dipinggir jurang (tukad, pangkung) tepat di atasnya.
Terlebih dikelilingi jurang.
Demikianlah beberapa letak hunian yang sebaiknya diperhatikan ketika membangun rumah, dan menghindari beberapa letak pekarangan yang dapat menyebabkan ala. Leluhur membuat lontar ini tentunya melalui kajian yang mendalam dan ada perhitungan yang sahih. Mereka tentuya memperhitungkan dan memformulasikan sebuah metode didasarkan atas sebuah penelitian dan pengamatan mendalam dengan segala kemungkinan yang terjadi. Tetapi, kita sebagai generasi baru sudah mulai menampik perhitungan-perhitungan tersebut. Banyak bangunan didirikan dengan mengabaikan prinsip Asta Bumi dan Wiswakarma, sehingga rumah dibangun bukan membawa Werdhi Ayu tetapi Ala. Percaya atau tidak, perhitungan ini dibuat adalah untuk menciptakan hubungan harmoni dengan Ibu Bumi. Masing-masing perhitungan sangat logis dan dapat dibuktikan secara teologis dan saintifik. Dalam Tantra, pekarangan adalah Angga (tubuh), dan padanya adalah sumbu kosmos yang terdiri dari Bhur, Bwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir). Kemudian selain sumbu kosmos, pekarangan adalah sumbu kehidupan dengan memperhatikan orientasi arah Timur dan Barat sebagai symbol terbit dan tenggelamnya matahari. Pekarangan juga sebagai sumbu natural yang didasarkan atas orientasi arah Kaja-Kelod (utara-selatan). Kaja arah gunung simbol kesucian dan kelod arah pantai simbol peleburan. Kemudian yang penting adalah Luwan (hulu) dan Teben (hilir) sebagai simbol sakral dan profan. Jika digabungkan, maka terlahirkan Catur Purusa Siwa mandala, yang membentuk tanda Plus atau Tampak Dara sebagai dasar Mandala. Luar biasa, leluhur kita memformulasi konsep agar kita harmoni dengan alam.
#Rahayu
Demikianlah beberapa letak hunian yang sebaiknya diperhatikan ketika membangun rumah, dan menghindari beberapa letak pekarangan yang dapat menyebabkan ala. Leluhur membuat lontar ini tentunya melalui kajian yang mendalam dan ada perhitungan yang sahih. Mereka tentuya memperhitungkan dan memformulasikan sebuah metode didasarkan atas sebuah penelitian dan pengamatan mendalam dengan segala kemungkinan yang terjadi. Tetapi, kita sebagai generasi baru sudah mulai menampik perhitungan-perhitungan tersebut. Banyak bangunan didirikan dengan mengabaikan prinsip Asta Bumi dan Wiswakarma, sehingga rumah dibangun bukan membawa Werdhi Ayu tetapi Ala. Percaya atau tidak, perhitungan ini dibuat adalah untuk menciptakan hubungan harmoni dengan Ibu Bumi. Masing-masing perhitungan sangat logis dan dapat dibuktikan secara teologis dan saintifik. Dalam Tantra, pekarangan adalah Angga (tubuh), dan padanya adalah sumbu kosmos yang terdiri dari Bhur, Bwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir). Kemudian selain sumbu kosmos, pekarangan adalah sumbu kehidupan dengan memperhatikan orientasi arah Timur dan Barat sebagai symbol terbit dan tenggelamnya matahari. Pekarangan juga sebagai sumbu natural yang didasarkan atas orientasi arah Kaja-Kelod (utara-selatan). Kaja arah gunung simbol kesucian dan kelod arah pantai simbol peleburan. Kemudian yang penting adalah Luwan (hulu) dan Teben (hilir) sebagai simbol sakral dan profan. Jika digabungkan, maka terlahirkan Catur Purusa Siwa mandala, yang membentuk tanda Plus atau Tampak Dara sebagai dasar Mandala. Luar biasa, leluhur kita memformulasi konsep agar kita harmoni dengan alam.
#Rahayu
*penulis buku Siwa Tantra & Dosen IHDN Denpasar
0 comments:
Post a Comment