Oleh : I Ketut Sandika &
Santana Ja Dewa
Lorong kehidupan berselaksa dengan irama cuaca dinamika menghadapi
ketidakterpolaan yang teratur. Selaras, harmoni dan mencebur warna-warni ruang
dan waktu berdamai dengan semesta. Pohon dengan santai bersiul berkolaborasi
apik walaupun tidak seirama dengan realita. Spirit hidup lurus memberikan makna
berdamai dengan keadaan. Kokoh berdiri ditengah terpaan cuaca menguatkan diri
dan ikhlas menjalani semua. Riak-riak seperti nada-nada indah hidup. Berselaksa
dalam suasana dan nada tetap bernyanyi bersama pemilik hidup. Keluhan tak
tersaji pada akhirnya mengolah rasa dalam perjalanan. Ruang estetika pohon dan
seni terselip makna dan filosofi menarik ketika ditarik dalam medium
berkesenian. Terlebih lagi, ruang expresi yang tak biasa terhadap kegelisahan
medium studio arsitek mencoba bertransformasi menjadi ruang galeri. Medium
arsitek dan berkesenian ada senada dan punya kesamaan misi dalam
mengimplementasikan satu kesatuan menisfestasi ekpresi.
Mendobrak hegemoni menembus sekatan dan menyatukan dua dimensi ruang yang
beda berkolaborasi mewujudkan harmoni tatanan seni. Tatkala ditarik benang
merahnya tentu punya kesamaan medium berekpresi, hanya ada satu hal yang
membatasi sehingga mediumnya berbeda. Apa yang dilakukan I Gede Made Surya
Darma sangat bijak mengambil dualitas dimensi menjadi satu kesatuan
berkesenian. Perupa terbangun dari naluri berkarya menyimak sebuah pohon dalam
berdamai dengan semesta. Exhibition yang bertajuk POHON SELAKSA HIDUP akan
menyajikan berkesenian diruang arsitek bertempat di Sanur. Natah Kantoor nama
tempat yang eksplor perupa asal Tabanan. Spirit pohon ia tuangkan dalam karya
yang menyintas makna pohon kehidupan.
Ada apa dengan pohon?
Sejatinya hidup adalah selaras dan harmoni dengan alam, selayaknya
warna-warni yang terpola sedemikian indah pada bidang kanvas kehidupan yang
indah. Sebagaimananya alam adalah guru tertua dari peradaban manusia, dan ia
adalah rajutan dari prakerti yang hadir sebagai penopang kehidupan manusia
beserta dengan entitas kehidupan lainnya. Maka, kehadirannya adalah sebagai
realitas yang ada dan memberikan daya kehidupan bagi manusia. Olehnya, manusia
sewajarnya begitu menghormati dan memuliakan alam sebagaimana ia memuliakan
Tuhan sebagai Sangkan Paran yang mengadakan semuanya ini.
Alam sebagaimana adanya muncul dari asas Prakerti, yang banyak disebutkan dalam naskah Tatwa di Bali. Dari Prakerti alam dengan segala isinya terlahir, dan yang pertama mengada adalah bumi dengan segala jenis tumbuh-tumbuhan dan pepohonan di dalamnya. Mereka diberikan Eka Pramana yang hanya bisa bertumbuh untuk memberikan kehidupan kepada semua makhluk. Kemampuan untuk bertumbuh dan memberikan kehidupan tanpa harus mengharapkan pamrih atau balasan dari apa yang mereka lakukan. Makanya tidak salah jika tumbuh-tumbuhan dan pepohonan adalah “guru tertua” dari peradaban manusia.
Alam sebagaimana adanya muncul dari asas Prakerti, yang banyak disebutkan dalam naskah Tatwa di Bali. Dari Prakerti alam dengan segala isinya terlahir, dan yang pertama mengada adalah bumi dengan segala jenis tumbuh-tumbuhan dan pepohonan di dalamnya. Mereka diberikan Eka Pramana yang hanya bisa bertumbuh untuk memberikan kehidupan kepada semua makhluk. Kemampuan untuk bertumbuh dan memberikan kehidupan tanpa harus mengharapkan pamrih atau balasan dari apa yang mereka lakukan. Makanya tidak salah jika tumbuh-tumbuhan dan pepohonan adalah “guru tertua” dari peradaban manusia.
Pohon sebagai “guru alam dan tertua” tentunya banyak hal yang dapat
dimaknai dari keberadaannya. Atas kebermaknaan itu pula, sesungguhnya kita
dapat belajar dari kehidupan mereka yang bertumbuh dan berkarma sesuai dengan
kodratnya, tiada perlu berkata-kata dan berwacana. Kehidupannya sebagai pohon,
ia jalani sebagai swadharma tanpa harus rindu akan pujian dan membenci akan
caci maki. Semua itu mengisyaratkan kebijaksanaan purba yang natural dari laku
alam yang patut kita realisasikan dalam kehidupan kita sebagai manusia yang
konon adalah makhluk “sempurna”.
Pohon adalah “Ibu” bagi manusia, sebab darinya manusia dapat melangsungkan
kehidupan, bertumbuh dan berkembang. Ia dapat meneduhkan manusia dan hewan yang
mengalami kepanasan ragawi dan bathin. Darinya kesejukan terpancar, sehingga
diri merasa bahagia dalam keteduhan abadi yang terkadang susah dijelaskan. Oleh
karena itu, dalam teks-teks Veda, pohon adalah disebut dengan Kalpa Vreksa atau
Kalpataru, yakni pohon yang dapat memenuhi segala keinginan dan menyembuhkan.
Dalam lontar Taru Pramana juga menyatakan bahwasanya semua jenis pohon adalah
“obat” yang dapat menyembuhkan, sehingga semua pohon diberikan penanda berupa
nama dan jenis agar memudahkan Sang Pangusadha menggunakannya sebagai obat.
Semua hal tersebut menunjukkan bahwa pohon sangat mulia dan ditinggikan
dalam khasanah sastra suci Hindu. Dalam praktik masyarakat Hindu di Bali,
memuliakan pohon dalam perayaan ritus-ritus suci, yakni Tumpek Uduh atau
Wariga. Secara teo-filosofis, perayaan Tumpek Uduh tersebut adalah bentuk
bhakti kepada Bhatara Sangkara yang telah mengadakan pepohonan di bumi,
sehingga dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Dalam prosesinya, ada
dialog yang menarik antara manusia dengan pohon, seperti “dadong-dadong,
kaki-kaki buin selae lemeng Galungane, membuah apang nged, nged, nged”.
Dialog tersebut menyiratkan makna melebihi daripada yang tersurat. Makna
bahwasanya pohon dan tumbuh-tumbuhan adalah tetua atau tepatnya “leluhur” bagi
peradaban manusia. Dengan kata lain, mereka adalah moyang dari kita manusia,
sehingga disebut dadong-kaki (baca kakek-nenek). Jadi, lagi 25 hari perayaan
Galungan diharapkan pepohonan berbuah lebat agar dapat dijadikan persembahan.
Dan, hal tersebut memiliki pesan simbolik bahwa segala bentuk karma pastinya
menghasilkan buah yang hendakanya dinikmati. Pohon tidak ubahnya “lelaku diri”,
dimana daunnya adalah daun karma, buahnya adalah buah karma, batangnya adalah
kekuatan untuk bertumbuh, dan rantingnya adalah lika-liku kehidupan yang
bercabang-cabang.
Membiarkan biji bertumbuh menjadi pohon dan berbuah adalah sebuah proses
dalam kehidupan yang perlu dipahami. Banyak dari kita sering tidak melihat dan
menghargai sebuah proses, tujuan dan motivasi dalam berkarma. Padahal, karma
atau tindakan dan kerja, bukan hasil menjadi tujuan tetapi bagaimana kita dapat
berproses secara alami selayaknya pohon kehidupan (wreksa hurip) yang bertumbuh
menjulang tinggi dengan daun yang rimbun dan sungguh meneduhkan. Pohon beringin
misalnya, dari biji yang sangat kecil, dan bagaimana ia harus mendekam dalam
tanah, kemudian membelah biji dan tanah. Selanjutnya menumbuhkan batang, akar
dan daun bertumbuh sedemikian rupa sehingga menjadi besar. Semua itu
menunjukkan bahwa pentingnya proses dalam kehidupan.
Pohon Kehidupan Dalam Ruang Estetik.
Berangkat dari selaksa makna pada pohon itulah, seniman muda I Gede Made
Surya Darma menuangkannya dalam ruang estetik. Tajuk karya yang memberikan kita
pesan moral untuk kembali kepada alam lebih dalam (deep ecology). Sebagaimana
pohon kehidupan, karya seni juga menyajikan keindahan pohon dalam komposisi
warna yang beragam. Menandakan bahwa kehidupan ini penuh warna; dimana suka dan
duka selalu berdampingan. Pesan yang mendalam, bahwa “jangan mengeluh” dan
tirulah pohon yang tidak pernah mengungkapkan kebahagiaannya dan kedukaanya
sekalipun. Ia ada dalam diam yang sempurna sebagai representasi dari keteguhan
jiwa dalam penikmatan dualitas sebagaimana adanya. Goresan palet dan kuas
menyapu kanvas membias warna bergelombang dan gemulai tangan bergelora
menguasai ekpresi. Naluri ide baru bergelora mabuk dalam ritme tatanan
berkesenian.
Ide dan gagasan serta karya yang menarik dan relevan tentunya, mengingat
kebutuhan manusia modern untuk kembali pada kehidupan alam. Selama ini dirasa
alam sudah tidak bersahabat dengan manusia, padahal semua itu ulah manusianya
sendiri. Manusia yang terlalu congkak dengan dirinya dan merasa berkuasa atas
alam. eksploitasi alam yang berdampak pada distorsinya ekologi, sehingga ke
depannya peradaban bukan tidak mungkin menjadi terancam. Karya ini sesungguhnya
media “pengingat” manusia bahwa sangat pentingnya pohon dapat tumbuh dan hidup,
sehingga dapat memberikan keindahan dalam ruang jiwa kita. Jiwa yang selama ini
terkeringkan oleh “rasa berkuasa” atas semuanya. Untuk itu, melalui karya Made
Surya kita sesungguhnya dihadapkan pada dimensi estetik alami dari Taksu Pohon
yang selama ini kita anggap hanyalah tumbuhan biasa.
Spirit dari kekuatan semesta ada pada pohon yang memberikan segalanya
kepada kita sebagai manusia. Dalam teks Tattwa Kadyatmikan, pada pohon yang tinggi,
besar seperti Kepuh, Pule dan Rangdu bersthana dari Hyang Banaspati Raja, yakni
penguasa dari kehidupan manusia. Banaspati secara harfiah dapat diartikan
sebagai “penguasa kematian”, dan Ia adalah manifestasi dari Hyang Tunggal
ketika hendak bertemu dengan Dewi Uma dalam wujud Durga. Taksu pohon terletak
pada pemaknaan ini yang berhubungan dengan penguasa dari kehidupan. Dapat
dibayangkan ketika hutan dan seisi bumi tidak ada pepohonan dan
tumbuh-tumbuhan, maka kematian dan kehancuran akan terjadi.
Sungguh ide dan gagasan serta karya yang monumental, sebab di dalamnya
tidak saja terkandung nilai estetika seni tetapi nilai moral untuk segera kita
menghargai alam. Karya ini bukan saja untuk dinikmati, tetapi menggerakan
kesadaran kita untuk menghargai alam dengan menanam satu pohon kehidupan yang
dapat dimaknai bahwa kita telah menyelamatkan peradaban bumi yang kita cintai.
Karya seni apapun, hadir bukan sekadar untuk dilihat dan dinikmati, tetapi akan
berasa lebih nikmat jika ditangkap pesan simbolik dan merealisasikan dalam laku
kehidupan. Terlebih untuk memelihara “pohon diri” sebagai pohon kesadaran agar
senantiasa tumbuh dan berkembang, sehingga memberikan daya keindahan pada
semuanya.
*penulis pameran
0 comments:
Post a Comment