lukisan gaya klasik Batuan menghiasi acara PKB ke 40
DENPASAR-Pesta
Kesenian Bali (PKB) memasuki perhelatan ke 40, banyak agenda kesenian yang
ditampilkan, begitu juga dengan seni rupa. Pemeran lukisan merupakan rangkaian
kegiatan memeriahkan event kesenian terbesar di Bali. Acara pemeran tersebut
memunculkan seni lukis gaya Batuan selama satu bulan.
Pameran akbar yang
melibatkan 36 pelukis dari Sanggar Baturulangun, Desa Batuan, Gianyar, ini
dikurasi oleh Dr. Wayan Kun Adnyana dan Wayan Jengki Sunarta. Para pelukis yang
berpameran adalah I Made Tubuh, I Ketut Murtika, Dewa Made Virayuga, Ida Bagus
Putu Padma, I Dewa Nyoman Martana, I Dewa Nyoman Sudiana, I Gede Widyantara, I
Gusti Ngurah Muryasa, I Ketut Balik Parwata, I Ketut Kenur, I Ketut Reta, I
Ketut Wirtawan, I Made Adi Sumarjaya Putra, I Made Griyawan, I Made Karyana, I
Made Nyana, I Made Renanta, I Made Sujendra, I Nyoman Marcono, I Nyoman
Nurbawa, I Nyoman Selamet, I Nyoman Sudirga, I Nyoman Toyo, I Wayan Aris
Sarmanta, I Wayan Budiarta, I Wayan Dana Wirawan, I Wayan Diana, I Wayan Eka
Mahardika Suamba, I Wayan Malik, I Wayan Naka, I Wayan Warsika, Ketut Jaman
Suarnawa, I Ketut Sadia, Nyoman Kastawa, Pande Made Martin.
" Dalam pameran
ini, tema api tidak hanya dimaknai secara harfiah. Namun, api juga menjadi
metafora atau simbolisasi, terkait spirit penciptaan, olah batin, untuk
menghasilkan suatu karya yang memesona dan membuka ruang renung bagi banyak
orang. Api di dalam diri dan api di luar diri menjadi suatu keterkaitan yang
bisa dimaknai dengan berbagai cara. Dalam konteks pameran ini, penafsiran dan pemaknaan
api menjadi sangat beragam, ucap Kurator I Wayan Jengki Sunarta saat
dikomfirmasi, Senin (9/7).
Kata “endih” mengacu
kepada nyala, api, cahaya, aura. Endih seringkali dikaitkan dengan perwujudan
leak, ilmu mistik dari Bali. Biasanya, orang-orang yang menekuni ilmu
kebatinan, sastra, ataupun kesenian, akan memancarkan endih (aura) yang kuat
dari batinnya. Dalam konteks pameran ini, “Endih Baturan” bermakna “Cahaya dari
Baturan”, mengacu kepada kedalaman, kekuatan, dan keunikan seni lukis gaya Batuan.
Kata “Baturan” sendiri mengacu kepada nama lain Desa Batuan pada masa kerajaan.
Kegiatan melukis atau
menggambar di Desa Batuan, Gianyar, Bali, telah ada sejak zaman kerajaan Bali
kuno dan menjadi bagian dari ritual keagamaan. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya
kata “citrakara” (ahli gambar) dalam Prasasti Batuan yang dibuat tahun 944 Saka
(1022 M) pada masa pemerintahan Raja Marakata dari Dinasti Warmadewa.
Selain lukisan,
pameran ini juga menampilkan sebuah karya instalasi yang dibuat secara
berkelompok. Pada tanggal 1 dan 8 Juli 2018 lusa juga digelar workshop melukis
gaya Batuan untuk anak-anak di depan Gedung Kriya.
Namun, kata Wayan
Jengki Sunarta seni lukis gaya Batuan menemukan eksistensinya dan semakin
dikenal luas ketika dikoleksi dan dipromosikan oleh antropolog Margaret Mead
dan Gregory Bateson yang melakukan penelitian di sana pada pertengahan tahun
1930-an. Pada masa itu, lukisan Batuan banyak menampilkan tema kehidupan
sehari-hari, cerita rakyat, mitologi, dan cuplikan kisah pewayangan, dengan
nuansa magis yang sangat kental.
Hal senada
disampaikan kurator Dr. Wayan Kun Adnyana, seni lukis gaya Batuan mampu
bertahan dan berkembang hingga sekarang karena adanya sistem pewarisan
pengetahuan dan keterampilan melukis dari generasi ke generasi. Sistem itu
dulunya bersifat informal dan berlangsung dalam keluarga atau lingkungan
terdekat. Metodenya pun berbeda-beda. Ada dengan cara meniru atau mencontoh.
Ada dengan memberikan teori atau teknik, kemudian murid mencari dan
mengembangkan sendiri tema yang disukainya.
Membaca Kedalaman
Seni Lukis Batuan
Di tengah gempuran
modernisasi yang melanda Desa Batuan, pameran ini membuktikan bahwa seni lukis
gaya Batuan masih tetap tumbuh dan berkembang. Selain itu, nilai-nilai luhur
yang terkandung di dalam seni lukis gaya Batuan telah diwariskan secara masif
kepada generasi baru melalui program pelatihan melukis bekerjasama dengan
beberapa Sekolah Dasar di Desa Batuan. Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan
ini sangat memungkinkan untuk menjadikan seni lukis gaya Batuan sebagai Warisan
Budaya Tak Benda. Dengan demikian, api spirit penciptaan senantiasa menyala
dari generasi ke generasi.
Teknik melukis gaya
Batuan sangat rumit, mengandalkan keterampilan, kesabaran, dan ketekunan. Ada
beberapa tahapan yang harus dilalui, yakni membuat sketsa (ngorten), memberi
kontor pada sketsa (nyawi), membuat gradasi secara bertahap (ngucek),
menampilkan kesan kedalaman dan membuat fokus tertentu (manyunin dan
ngidupang), dan memberi warna (ngewarna). " teknik melukis gaya Batuan
pada umumnya teknik lukis tradisional Bali hampir sama tahapanya , hanya tahap
tertentu aja yg beda. Seperti di gaya Batuan ,tahap MANYUNIN, kalau di gaya
Ubud ngeskes, dengan kuas bambu yang di gepengkan. Gaya Batuan tidak
memungkinkan dikeskes karena obyek cendrung lebih kecil, ketimbang gaya Ubud,
" ujar salah satu perupa I Nyoman Sudirga.
Ia juga berkata tahap
ngidupan di gaya Batuan, kalau digaya ubud disebut nyenter tapi tujuanya sama
untuk menonjolkan detil-detil tertentu, atau di gaya modern disebut
pencahayaan. *(sjd)
0 comments:
Post a Comment