Mahasiswa Undiksha Gelar Pameran Merujuk Medium Lontar


seorang penikmat seni lagi seksama melihat karya 
DENPASAR- Pameran yang bertajuk (O)P(E)RASI ini adalah sebuah pameran yang menghadirkan karya – karya para mahasiswa dan alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa yang telah mengambil mata kuliah prasimologi. Disamping menghadirkan karya para mahasiswa dan alumni pameran ini juga menghadirkan satu karya dari praktisi seni prasi dari desa Bungkulan yakni Gusti Bagus Sudiasta. Penekun seni prasi yang sekaligus seorang pemangku dan dalang ini juga pernah diundang ke kampus Undiksha untuk membagi pengalamanya pada para mahasiswa yang beberapa orang diantaranya ikut berpameran saat ini.
Media berkarya tidak mentok pada kanvas, media lainya seperti hal daun lontar tapi selama ini media tersebut mengkhusus sebuah tulisan atau aksara. Model seperti ini disebut prasi seni lukis lontar. Penggunaan medium lontar sebagai objek karya jika menghitung mundur merupakan bagian dari sejarah perjalanan panjang sebagai tradisi literasi atau disebut nyastra. Tradisi ini media utama adalah lontar dari sana tak seledar menghadirkan dan mewarisi nilia-nilai dan sistem pengetahuan serta tradisi menulis aksara tapi juga menggambar. Dalam teks-teks lontar itu terkadang membutuhkan gambar entah sebagai ilustrasi yang naratif maupun simbolik seperti rerajahan. Bila ditarik benang merahnya, maka tradisi mengambar pada lontar mengalami perkembangan dan dikenal sebagai seni prasi. 

Hal ini disampaikan kurator I Made Susanta Dwitanaya saat memberikan keterangan pada penikmat seni, Grya Santrian Gallery, Sanur, Bali. Memahami dan mengakrabi prasi, kata Susanta, ada baiknya kita mencoba membedah atau mengoperasi prasi ini terlebih dahulu dari berbagai aspek dan strukturnya. Dari aspek medium yang digunakan prasi sudah jelas memakai medium daun lontar (Borasus Flabellifer) dalam sejarah keber-aksara-an di Nusantara termasuk Bali. Sejarah medium untuk menuliskan berbagai hal di Nusantara diawali dari tulisan diatas batu yang lazim disebut prasasti.


Medium daun lontar ini menjadi medium yang paling masif digunakan dalam menulis aksara di Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Nusantara terutama di wilayah Jawa dan Bali. Khusus untuk daerah Bali, daun lontar tampaknya bukan hanya berhenti sebagai medium menuliskan aksara tapi juga sebagai medium dalam menghadirkan image atau representasi visual tertentu, biasanya sebagai ilustrasi dari apa yang dijelaskan dalam rangkaian narasi tertentu ataupun untuk memvisualkan bentuk bentuk visual yang simbolis magis seperti rerajahan.

Dari segi karakteristik visual yang hadir dalam seni prasi khususnya prasi yang klasik menunjukkan aspek naratif yang kuat. Dalam setiap lempir (lembar) dalam bahasa Bali, tergambarkan satu atau dua frame adegan tertentu, penggambaran adegan tersebut kadangkala diimbuhi dengan tulisan tapi ada juga yang tanpa tulisan.

satu bentuk karya seni dua dimensional, bermediumkan daun lontar, memakai teknik torehan dalam menghadirkan image, serta mengandung aspek naratif didalamnya. Konten cerita cerita yang tersajikan dalam prasi sangat lapang untuk diperluas, tidak saja mengangkat cerita pewayangan ataupun folklore namun bisa saja mengangkat konten konten ataupun tema tema yang diperluas pada persoalan kekinian misalnya.

Ragam karya dari 38 karya yang dipamerkan tema-tema pewayangan menonjol tapi ada perupa menyajikan tema yang lainya diluar pewayangan. Disamping itu beberapa peserta menunjukkan upaya untuk mempertemukan medium lontar yang dominan dalam seni prasi dengan medium yang lain semisal plat tembaga dan lain sebagainya. Sebagain peserta lagi mencoba menghadirkan metode presentasi atau cara display yang mencoba keluar dari konvensi seni prasi pada umumnya.


Pameran yang diuikuti oleh 27 orang peserta diantaranya I Gusti Bagus Sudiasta,I Putu Nana Partha Wijaya, IB Shindu Prasetya, I Made Dwipayana,Putra Wali Aco, Nyoman Putra Purbawa,Putu Dudik Ariawan, I Putu Leona Mahardika, Made Wisnu Hendrayana, I Wayan Trisnayana, Erica Dewi, Yoga Suta Wirya, Agung Mandala, Kadek Mega Yudi Antara, Gde Deny Gita Pramana, Ema Kusmilawati, Ratih Aptiwidyari, Siska Nurul Hikmatillah, Uyik Sumarsih, Ni Putu Wikantariasih, Ni Luh pangestu, Angga Heriawan, I Gede Eka Somajaya, Putu Hendy Prabangkara, Sulaiman, Made Wijana dan Dewa Made Johana, sebagaian besar adalah para perupa muda ini menunjukkan sebuah upaya untuk menempatkan eksistensi seni prasi dalam medan sosiual seni rupa Bali hari ini.
Lebih mendalam tentang tema pameran Operasi, Susanta menyampaikan operasi yang dimagsud mengandung berbagai lapisan makna. Yang pertama operasi sebagai sebuah istilah kedokteran yang bermakna pembedahan maka para peserta dalam pameran ini sesungguhnya sedang berada dalam upaya membedah struktur demi struktur “anatomi” seni prasi itu sendiri mereka mencoba mempelajari dan mengakrabi berabagaiu aspek muylai dari aspoek visual, tematik, hingga cara presentasi dari seni prasi itu sendiri. Selanjutnya pada lapisan berikutnya kata operasi dimaknai sebagai sebuah gerakan atau aksi dengan misi tertentu. Sehingga pameran ini juga bermakna sebagai sebuah upaya dari para perupa muda ini untuk bergerak dalam misi menempatkan eksistensi seni prasi ini dalam medan sosial seni rupa hari ini. Atas dasar itu pula-lah mengapa pameran ini memilih tempat di sebuah galeri seni rupa,dimana kitra ketahui bersama bahwa galeri adalah salah satu institusi yang penting dalam medan sosial seni rupa. Dan dengan terselenggaranya pameran ini diharapkan seni prasi menjadi semakin mendapat tempat dalam konstelasi seni rupa kontemporer.(*)


Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.