Sebanyak 50 perempuan perupa yang tergabung dalam Komunitas 22 Ibu menggelar
pameran bersama di Bentara Budaya Bali (BBB), pada 21 April hingga 30 April
2018. Merujuk tajuk “Sang Subjek”, eksibisi mereka kali ini tak terlepas dari
upaya memaknai dua penanggalan penting yang jatuh pada bulan Maret dan April,
yakni Hari Perempuan Internasional, 8 Maret, dan Hari Kartini yang diperingati
setiap 21 April.
Hardiman, kurator yang juga akademisi di Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, mengungkapkan bahwa perempuan perupa Komunitas 22 Ibu ini adalah
subjek seni rupa. Dalam pengantarnya, Hardiman menyebut mereka menentukan
konsep, genre, tema, gaya, media, hingga hal-hal kecil lain yang menyangkut
kekaryaan. Penentuan ini adalah salah satu 9sikap yang memperlihatkan posisi
perempuan Komunitas 22 Ibu ini sebagai Sang Subjek. Bukan sekadar memiliki
kesamaan atau kesetaraan dengan subyek-subyek lain, tetapi juga sanggup
menyusun konstruksi subyektivitas yang menjadikan dirinya memiliki kepribadian
atau menjadi diri sendiri.
“Sesungguhnya ada dua hal pokok yang bisa dibincangkan dari pameran ini.
Pertama, unsur visual yang direpresentasikan oleh Komunitas 22 Ibu tentang Sang
Subjek. Kedua, unsur gagasan yang tersembunyi di balik visual yang mereka
hadirkan, " kata Hadiman.
Komunitas 22 Ibu merupakan komunitas para ibu yang berasal dari lintas
institusi, yang mewadahi kesamaan berkarya seni, pameran, penulisan buku
tentang seni rupa, workshop, wisata kuliner, gathering, dan lain-lain. Anggota
komunitas ini berasal dari pendidik seni rupa dari berbagai wilayah di
Indonesia, pengusaha, desainer, juga seniman.
Kekuatan karakter para ibu ini juga dipertegas oleh Hardiman. “Menariknya
dari komunitas ibu-ibu ini adalah, sekalipun mereka menyebut diri sebagai
“ibu”, yang jelas-jelas berkonotasi domestik, pameran mereka justru dilakukan
di galeri-galeri yang sangat publik, termasuk di Bentara Budaya Bali ini. Ini
adalah semacam gugatan yang dibungkus halus oleh ibu-ibu ini. Ini adalah
perihal ‘apa yang tampil’ dari ibu-ibu, “ pungkas Hardiman.
Uniknya, Komunitas 22 Ibu ini memperkenalkan material untuk melukis batik
yang ramah lingkungan, yaitu dengan lilin dingin yang bersumber dari material
bubuk asam Jawa yang dicampur dengan sejenis lemak nabati. Karena sifatnya
ramah lingkungan, material inipun aman digunakan oleh anak-anak. Untuk
pelaksanaan kegiatan ini disediakan 50 spanram uk. 30 x 30 cm, lengkap dengan
materialnya yang dapat diikuti oleh masyarakat umum secara gratis.
Adapun para perupa yang terlibat dalam pameran kali ini antara lain: Ariesa
Pandanwangi, Arleti Mochtar Apin, Arti Sugiarti, Ayoeningsih Dyah Woelandhary,
Bayyinah Nurrul Haq, Belinda Sukapura Dewi, Cama Juli Ria, Didit Atridia, Dina
Lestari, Dini Birdieni, Dyah Limaningsih Wariyanti, Endah Purnamasari, Endang Caturwati,
Eneng Nani Suryati, Erni Suryani, Ety Sukaetini, Gilang Cempaka, Ika Kurnia
Mulyati, Lisa Setiawati, Luki Lutvia, Meyhawati Yuyu Julaeha Rasep, Nia
Kurniasih, Nida Nabilah, Niken Apriani, Nina Irnawati, Nina Fajariah, Nita Dewi
Sukmawati, Nenny Nurbayani, Nuning Damayanti, Nurul Primayanti, Ratih
Mahardika, Rina Mariana, Risca Nogalesa, Shitra Noor Handewi "Evie
Sapiie", Siti Sartika, Siti Wardiyah, Sri Nuraeni, Sri Rahayu Saptawati,
Sri Sulastri, Talitha Y, Tjutju Widjaja, Ulfa Septiana, Vidya Kharishma, Wanda
Listiani, Wida Widya Kusumah, Wien K Meilina, Yetti Nurhayati, Yunita Fitra
Andriana, Yustine, dr. Zaenab Ahmad Shahab. Sebelumnya, Komunitas 22 Ibu telah
menggelar pameran bersama “Portis Tertia Mundi” di Galeri Seni Popo Iskandar,
Bandung (2015), “Pandora” di Bentara Budaya Jakarta (2016), “The Power of
Silence” di Equilibrium Art Gallery (2017), Galeri Nasional Indonesia-Jakarta
(2017) dll.
Bukan kali ini saja BBB menghadirkan tema Perempuan, baik sebagai Ibu
maupun pribadi tersendiri, berikut problematik yang dihadapi. Sosok dan tematik
Perempuan ini mengemuka dalam sejumlah film di program Sinema Bentara, tak
ketinggalan juga kajian tersendiri melalui program Bali Tempo Doeloe juga
pameran khusus terkait tinggalan arkeologis dan jejak historis yang
menggambarkan fase penting peran perempuan sebagai pemimpin, antara lain figur
sejarah Mahendradatta dan Raja Udayana dari Wangsa Warmadewa. Pada program
Dialog Sastra tak jarang dikritisi perihal budaya patriarki yang digugat
sastrawan melalui novel, cerpen, maupun puisi.
Pun para perupa, baik perempuan atau laki-laki, yang mengeksplorasi sosok
Perempuan sebagai ilham penciptaan. Demikian pula pada seni pertunjukan,
sejumlah penari dan penampil teater mencoba merefleksikan sosok Ibu dalam panggung
mereka. Masyarakat Bali sendiri mengenal sosok Ibu yang termanifestasikan dalam
berbagai rupa dan peran. Sebagai Dewi yang baik hati, maupun sosok-sosok luhur
lainnya, dengan kepribadiannya yang penuh welas asih. Sosok Ibu nan agung
tersebut dapat ditemui pada cerita-cerita setempat, kisah religi maupun
wiracerita pewayangan.
Masyarakat Bali sendiri mengenal sosok Ibu yang termanifestasikan dalam
berbagai rupa dan peran. Sebagai Dewi yang baik hati, maupun sosok-sosok luhur
lainnya, dengan kepribadiannya yang penuh welas asih. Sosok Ibu nan agung
tersebut dapat ditemui pada cerita-cerita setempat, kisah religi maupun
wiracerita pewayangan.
Nia Kurniasih (Mia Syarief), selaku ketua pelaksana pameran dari Komunitas
22 Ibu, menyampaikan bahwa tema Sang Subjek, sesuai dengan kepribadian
komunitas ini. “Walaupun memiliki latar belakang pendidikan, sosial dan ekonomi
yang berbeda, namun satu sama lain mampu mewujudkan karakternya sebagai dirinya
dalam menyampaikan keteladan, kepeloporan, atau apapun hal yang positif. Semoga
kerjasama yang baik ini dapat terus berlanjut di masa yang akan datang, “
ujarnya. Kehadiran penyair Bali sebagai pembuka pemeran. I Wayan Jengki Sunarta
lewat puisinya. Sajak-sajak yang dibawakannya mengimplementasikan feminimnya
sosok ibu. *
0 comments:
Post a Comment