pameran tunggal I Putu Sudiana (Bonuz)
Tanah kelahiran seringkali menerbitkan banyak kisah
dan kenangan. Ada kenangan indah, ada pula kenangan sedih. Kenangan indah tentu
membangkitkan kerinduan. Sedangkan kenangan sedih pasti ingin segera dilupakan.
Namun, bagi seniman, kenangan indah maupun sedih selalu bermakna dan menjadi
energi kreatif untuk dituangkan dalam bentuk karya seni.
Putu Sudiana alias Bonuz termasuk seniman yang
mencintai kenangan kampung halamannya, Nusa Penida. Memilih hidup sebagai
seniman dengan identitas dalam berkarya berbanding selaras mencintai daerah
tempat lahir sejalan dalan berkesenian. Bonuz tergila-gila kenangan pulau Nusa
Penida yang diimplentasikan dalam pameran tunggal yang bertajuk A Land To
Remember yang bertempat di Geria Santrian Gallery, Sanur.
Menurut Wayan Jengki Sunarta yang menulis pengantar
pameran ini saat jumpa pers di Geria Santrian Gallery, menjelaskan kenangan
pada masa kanak-kanak seorang perupa Bonuz yang begitu getir. Perjalanan
berkesenian hingga mencapai puncak kesuksesan tak terlepas dari tanah
kelahirannya. Pergolakan hidupnya yang menarik dikupas dalam karya, meski dalam
tatanan hidup serba kesederhaan. Semangat bergelora berkeinginan besar menjadi
seorang seniman meski seperti karang-karang terjal dan ganas berpadu cuaca
ekstrem.
Tentu saja perubahan yang terjadi di Nusa Penida
berdampak pada kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya. Namun,
goncangan-goncangan sosial-budaya pun tak bisa dihindari. Dan, di sisi lain,
kerusakan alam sangat terasa, bataran (pematang ladang) di keruk, pohon-pohon
tua ditebang, rumah-rumah khas Nusa Penida diganti baru.
Kenangan masa kanak dan kegelisahan Bonuz menyaksikan
perubahan yang terjadi di tanah kelahirannya kemudian menjadi energi kreatif
yang diungkapkannya lewat lukisan-lukisan bercorak abstrak. Komposisi
lukisannya cenderung dinamis dan mengandung luapan emosi yang sangat kuat. Hal
itu bisa dicermati pada guratan-guratan garis ataupun sapuan warna ekspresif
yang mewakili kegelisahan batinnya menyaksikan pembangunan yang tidak
memedulikan alam.
“Warna-warna gelap adalah ungkapan pemberontakan alam
bawah sadar saya menyaksikan berbagai hal yang bertentangan dengan hati kecil.
Ketika kesal dan kecewa tidak bisa disampaikan lewat kata-kata, maka garis dan
warna menjadi pilihan saya,” ujar I Putu Bonuz Sudiana.
Bonuz tidak anti perubahan tapi, senang melihat kemajuan
yang terjadi di tanah kelahirannya. Namun di sisi lain kemajuan itu juga
membuatnya khawatir. Rumah-rumah khas Nusa Penida di masa kanaknya sering hadir
dalam mimpinya. Hal itu membuat batinnya seringkali berontak menyaksikan
pembangunan yang mengorbankan atau menghancurkan alam. “Seharusnya pembangunan
ramah lingkungan, atau mampu menciptakan suatu keharmonisan dengan alam,” ujar
perupa asal Banjar Majuh kauh, Dusun Batumulapan, Nusa Penida.
Bonuz memang seniman yang mampu bergaul dengan siapa pun. Dia tidak mau mengotakkan diri sebagai pelukis saja. Justru dengan pergaulannya yang luas dia menyerap banyak energi kreatif dan sekaligus mengapresiasi berbagai jenis seni.
Bonuz memang seniman yang mampu bergaul dengan siapa pun. Dia tidak mau mengotakkan diri sebagai pelukis saja. Justru dengan pergaulannya yang luas dia menyerap banyak energi kreatif dan sekaligus mengapresiasi berbagai jenis seni.
Sejak lama Bonuz menyadari bahwa seni bukan hanya
melukis. Ada banyak seni lain yang juga layak diapresiasi demi meningkatkan
wawasan berkesenian. “Atas dasar kesadaran itulah saya bergaul dengan semua
sekte seni,” pungkasnya.
Kehidupan Bonuz yang unik dan eksentrik menarik minat
Ida Bagus Hari Kayana Putra alias Gus Hari. Sutradara muda itu membuat film
yang berkisah tentang sekelumit kehidupan Bonuz dan proses kreatifnya menapaki
jalan kesenian. Film semi biografi berjudul “Napak Pertiwi” itu hampir selesai
digarap. Trailer dan teasernya bisa dinikmati pada saat pembukaan pameran
lukisan ini.*
0 comments:
Post a Comment