Titik Getir “ Instropeksi Diri “


lukisan karya Suasasan "Kabu"

Kehidupan semakin dinamis apalagi diimbangi dengan kemajuan teknologi, ada yang lupa masuk dimensi tersebut. Kuatnya arus sehingga manusia sekarang menonjolkan diri dan ego saja. Rasa haus pencarian diri menunjukan lebih dari yang lainnya segala cara yang dilakukannya. Ketidakmampuan masuk puncak tersebut justru terbalik menjadi sebuah bencana pada diri. Titik getir tersebut terasa gawat menjalani kehidupan. Lupa instropeksi diri, melihat sudut pandang satu sisi. Mengoreksi yang lainya bukan berdasarkan objektivitas penilaian, kritik tajam setajam pisau mengujar yang merunut pada satu ketidaksukaan. Jadi kritikannya murni ketidakberpihakan terhadap seseorang. Atas dasar tersebut, apapaun yang dilakukan diluar kebiasaan orang tidaklah berarti bagi seorang yang sudah tidak suka. Parahnya lagi mengkritik bukan ranah kemampuannya, ada saja yang dibilang sepertinya suara burung yang berkicau tanpa nada dan bising.

Bercerminlah pada diri agar bisa melihat diri sendiri secara utuh. Instropeksi diri adalah cara mengolah ego dan emosi yang berujung pada ketenangan. Apresiasilah bila mana sahabat kita telah melakukan sesuatu sehingga kemunculan berkreativitas semakin produktif. Cuma disini perlu adanya sebuah kritik bukan berdasarkan suka dan tidak suka. Lebih elegan dengan cara ini mengkritisi seorang lebih damai. Bukan anti kritik, butuh kritik dalam setiap kegiatan berkreativitas hal itu sangat dibutuhkan sebagai penimbang.

Sejuk dalam menjalani kehidupan dijaman kontenporer melihat dua sisi muka ( bercermin ), gejolak emosional menilai sesuatu lebih berimbang tidak hanya berbicara tapi bisa dipertangungjawabkan pernyataan yang sudah diucapkan. Memang sulit sekali mengontrol sebuah egomoni dijaman serba cepat, paling tidak ada sebuah rujukan hidup “mulat sarira”.
lukisan karya Suasana "Kabul"


I Ketut Suasana seorang perupa mengapresiasi kegelisahannya melihat manusia sekarang bisanya hanya melihat satu muka, satu sisi. Perupa yang lebih dikenal Kabul mencari akar diri mengembangkan menggapai tempat puncak dalam hidup. Manusia mulai lupa mengenal dirinya sendiri secara utuh. Pengenalan pada dirinya akan lebih mudah mencari kelemahan dan kelebihan. Perenungan perjalann kehidupan baik buruk yang sudah terlewati menjadi sebuah perenungan ke masa depan lebih semarak penuh warna. Dogma dan doktrin atas segala perbedaan adalah cara menumbuhkan “ warna “ yang sudah digambarkan kembali pada akar pribadi masing-masing menyikapi persoalan pelik itu. Orang dengan mudah sekali terjun spektrum tersebut dengan dalih apapaun demi melampiaskan egomoni semata. Mencari kesalahan tapi lupa akan kelasahan diri seperti pepatah bilang gajah ditelupuk mata tak terlihat.

Kabul juga menyinggung soal kebisingan gedung terhormat dan dikatakan suci, keramat serta angker. Gedung rakyat yang penghuninya penuh dengan intrik gaduh lupa topoksi tugasnya. Bukanya hasil kenerja malah ikut meramaikan kegaduhan tak ada hasilnya. Tontonan kemewahan yang diperlihatkan secara drastis mengubah paradigma mereka. Tatkala kesadaran mereka lupa tanggungjawab mereka sebagai pelayan masyarakat, ketika itu terjadi menolak kesadaran diri. Setiap detik banyak sekali rasanya terlewati yang mahal adalah instropeksi diri.

Oleh : Santana ja Dewa
Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.