Pic. Jero Balingkank Naghniestha
Oleh ; I Ketut Sandika
Dalam kosmologis
Tantra, gunung adalah axismundi atau poros bumi sebagai mandala. Ia adalah
simbolisme keberpusatan penghubung antara dimensi alam atas dan bawah. Mercia
Elliade,filsuf yang saya kagumi menyatakan gunung adalah "altar bumi"
untuk memuja kekuatan kosmos. Sebagai poros dari mandala, gunung diwujudkan
sebagai meru tempat bertemunya antara dua energi pada inti energi yang disebut
Brahma Cakra, yakni energi menciptakan sebagai vidyamaya dan energi
menghancurkan atau avidyamaya.
Energi dalam dua kekuatan
inilah yang dibaca oleh leluhur Bali sehingga gunung sebagai meru dijadikan
pusat pemujaan dan dikeramatkan sebagai tempat tinggalnya para dewa. Selain
itu, gunung sebagai pusat orientasi arah untuk menentukan arah “kaja” dan
“kelod”. Kaja merupakan tempat yang sakral sebagai tempat pemujaan guna
kesejahteraan dan “nunas rahayu” jagat. Kelod adalah wilayah profan sebagai
tempat peleburan segala kekotoran. Jadi leluhur Bali mengetahui betul, bahwa
gunung adalah berkuasa atas kehidupan dan kematian semua isi alam. Sebab dua
kekuatan tersebut selalu dimuliakan sebagai sebuah cara alam untuk mengajarkan
manusia harmoni dengan kehidupan dan kematian (penciptaan dan peleburan). Sebab
keduanya adalah jalan menuju pada kelepasan dan tidak ada saling mengungguli.
Sebagaimana gunung
memberikan kehidupan, begitu pula ia akan meleburnya kembali. Sebab untuk
memperbaiki, tatanan kehidupan sebelumnya terlebih dahulu harus dilebur.
Sebagaimana besi karat agar menjadi perhiasan yang bagus terlebih dahulu harus
dipanaskan dan ditempa sedemikian rupa. Leluhur Bali tau betul akan cara kerja
alam sehingga letusan gunung adalah berkah yang harus disambut dengan perayaan
suci. Mungkin kepercayaan ini terlihat bodoh bagi orang kebanyakan. Tetapi
inilah cara mereka melakukan penghayatan atas keberadaan gunung yang selama ini
memberikan mereka kesejahteraan dan kehidupan.
Kembali lagi
kepercayaan dan keyakinan berakhir pada pilihan. Mereka yang demikian adalah
memilih jalan itu sebagai sebuah bhakti menyatu tiada tanding. Dan, semoga
Gunung Agung sebagai merunya Bali Dwipamandala memberikan karunia dibalik
bencana, yakni membawa kebaikan pada tatanan kehidupan orang Bali untuk kita
menghargai alam. Menjadikan Gunung Agung sebagai poros bumi pusat dari pemujaan
manusia dalam menghubungkan diri dengan Tuhan. Semoga pula kita bisa bercermin
pada leluhur Bali bahwa gunung memiliki kuasa atas alam dan makhluk hidup. Jadi
apapun kondisi Gunung Agung sekarang adalah jawaban dari teka-teki selama ini.
Akhirnya Beliau Hyang Giri Tohlangkir menjawabnya dengan erusi, memunculkan
energi penghancuran yang hebat. Doa kita, agar Beliau “memargi dabdab mangda
panjak Idane sami ngungsi dumun tur suweca Ida memargi gelis tur gelis naler
mewali”. Ong Bham Bhairawa Ya Namah.
#rahayu
0 comments:
Post a Comment