“Ruang Kemungkinan” ; Tujuh Rupa, Tujuh Gagasan, Tujuh “Kemungkinan”


lukisan karya Dangap 

RUANG – Dimensi waktu sampai hari ini melaju dalam dinamika keanekaragaman perkembangan. Sporadis menerjang “ ruang “ menimbulkan persoalan, digumuli, eksplorasi, sebagai media ungkap yang melakoni kehidupan sebagai kerja kreatif untuk mengungkapkan kebutuhan untuk mengekspresikan gagasanya. Gagasan itu seperti samudra mencakup lebih luas dengan segala hal dan fenomena didalamnya mulai dari persoalan alam, budaya,sosial, politik, hingga spiritualitas. Atau bisa jadi juga tentang “dunia” kesenilukisan itu sendiri , sebuah dunia dwimatra yang terlihat seluas bidang gambar dan didalamnya terdapat struktur ataupun elemen yang mengkontruksinya.

Seni lukis non representasional ini pada puncak perkembanganya kemudian oleh latar historis yang mengiringi perkembanganya di dalam seni rupa modern disebut sebagai seni lukis abstrak. Dalam seni lukis abstrak yang dipersoalkan bukan perkara bagaimana menyalin sebuah realitas alam tapi bagaimana mempersoalkan membebaskan dan mengeksplorasi potensi struktur paling elenter (mendasar) dari seni lukis yakni elemen elemen visual semisal garis, warna ,bidang, tekstrur , komposisi dan lain sebagainya dari “:beban” untuk meniru atau menyalin objek tertentu di alam secara kasat mata.

Tujuh perupa muda yang tampil dalam pameran ini, secara karakteristik visual memperlihatkan kecenderungan visual yang mengarah pada dua kecenderungan yakni ; abstrak dan abstraksi. Jika seni lukis abstrak bersifat niralam dimana realitas alam bukan merupakan tujuan namun lebih pada titik berangkat untuk menghadirkan eksplorasi pada wilayah wilayah yang lebih formalistik, maka abstraksi lebih bersifat liralam.

I Made Susanta Dwitanaya sebagai penulis pameran menilai dimana realitas objek yang ada di alam disederhanakan sedemikian rupa hingga menuju pada esensi dari kebentukan itu sendiri untuk dijadikan sebagai ungkapan yang bisa jadi simbolik maupun puitik. Setidaknya dua kecenderungan inilah yang dapat kita baca ketika berhadapan dengan karya – karya Komang Trisno Adi Wirawan, Kadek Darma Negara, Made Kenak Dwi Adnyana, Tien Hong, Ketut Agus Murdika, Putu Sastra Wibawa dan I Wayan Piki Suyersa.

Pameran ini adalah kelanjutan dari dua pameran sebelumnya yakni “Benang Merah” yang dilaksanakan di Bentara Budaya Yogyakarta pada bulan Oktober 2016 yang lalu, dan pameran “Abstract Is?” di bentara Budaya Bali pada tahun 2017 . Secara visual kekaryaan yang ditampilkan oleh ketjuh perupa muda ini cukup beragam, seperti misalnya Made Kenak Dwi Adnyana yang lebih cenderung ke abstraksi alam dengan masih menampilkan representasi objek alam meskipun dalam perwujudan yang seesensial mungkin,. Dalam pameran ini Kenak menghadirkan seri karya yang didominasi oleh nuansa gelap untuk mempersoalkan cahaya. Baginya Ia tak sepenuhnya ingin terbaca sebagai pelukis abstrak sebab menurutnya Ia berbicara tentang alam realitas. Ia sedang ingin mempersoalkan apa yang tampak sebagai akibat adanya cahaya. Cahaya yang memancar dikala kegelapan bagi Kenak menghadirkan kesan garis batas, garis batas antara bidang akibat dari pertemuan antara dua nuansa warna kontras , terang dan gelap. Dalam menghadirkan konsepnya tersebut Kenak masih merasa memiliki kebutuhan untuk meminjam realitas alam yang telah terabstraksi sebagai cara ungkapnya, maka yang tampak pada karyanya adalah sehamparan ruang gelap yang didalamnya hadir bidang bidang yang secara asosiatif masih dikenali sebagai objek objek representasional di alam semisal gunung, ataupun rembulan.

Alam adalah sumber gagasan yang tidak habis – habisnya bagi Kadek Darmanegara . Karyanya adalah perjalanan dari abstraksi (liralam) menuju abstrak (niralam).Warna, garis, bidang, ruang, komposisi yang hadir dalam karya – karyanya adalah endapan – endapan persepsi dan penghayatannya pada alam. Lihat misalnya dalam karya yang berjudul “Energi Pagi” persepsi Darma atas nuansa dan suasana pagi Ia hadirkan dalam pilihan – pilihan warna seperti warna cakrawala yang terbias cahaya matahari, disamping itu gagasanya tentang pagi dihadirkan dengan pilihan bentuk kanvas bulat yang secara asosiatif terbaca sebagai matahari yang sedang terbit bulat sempurna di ufuk timur.

Komang Trisno Adi Wirawan , menggali elemen – elemen alam dalam karya seni lukis abstranya. Persepsi – persepsinya tentang berbagai elemen alam seperti air, tanah, udara, cahaya, dan ether ia hadirkan dalam pilihan – pilihan warna , garis maupun tekstur. Elemen – elemen alam tersebut secara abstraksi melainkan luluh dalam hamparan susunan susunan dan konstruksi elemen – elemen rupa itu sendiri. Persepsinya tentang tanah atau zat padat misalnya Ia hadirkan dalam tekstur misalnya. Elemen cahaya atau zat panas maupun zat cair Ia persepsikan dengan warna – warna tertentu.

Ketut Agus Murdika menghadirkan komposisi bidang bidang dan warna yang dibangun dari sapuan sapuan kuas yang cenderung spontan. Agus mengaku dalam berkarya Ia bergerak secara spontan dan intuitif tanpa terbebani harus menggambarkan apa diawal proses melukisnya Ia percaya sepenuhnya pada spontanitas dan intuisi untuk menghadirkan aspek artistik dari kontruksi elemen – elen rupa yang Ia sedang tampilkan lalu setelah prose situ berlalu Ia melihat hasil akhir dari prosesnya tersebut . Ia lalu membaca dan menghayati sendiri suasana batiniah seperti apa yang hadir pada karyanya pada proses ini kemudian Ia memutuskan untuk memberikan judul pada karyanya. Melihat proses kreatif Agus tersebut kita dapat membaca pola kerja kreatif Agus yang berangkat dari visual dan proses untuk menemukan konsep atau gagasan. Sebuah pilihan metode penciptaan karya yang bersifat memframing atau membingkai spontanitas proses dengan gagasan.

Kecenderungan proses kreatif yang sama dengan Agus juga terlihat dari kecenderungan pola –pola atau metode penciptaan karya Tien Hong maupun Wayan Piki Suyersa kedua perupa ini juga percaya sepenuhnya pada spontanitas dan intuisi untuk menghadirkan karya – karya abstrak yang cenderung ekspresionistik. Perbedaan keduanya terlihat dari pilihan – pilihan warna dan teknik yang dihadirkan. Tien Hong cenderung menggunakan nuansa warna warna komplementer yang cenderung lembut , sedangkan Piki lebih cenderung menggunakan warna warna primer maupun sekunder dengan sapuan sapuan kuas yang tajam dan dinamis. Tien Hong, Piki , dan juga Agus ketiganya tampaknya lebih berpijak pada kecenderungan abstrak yang lebih percaya dan menitik beratkan pada perkara eksplorasi aspek aspek formalisme dalam karya – karyanya.

Sedangkan Putu Sastra Wibawa adalah perupa yang tertarik mengeksplorasi persoalan ekletik di dalam karyanya. Ekletisme adalah suatu perpaduan dua entitas yang saling bertolak belakang. Ia mencoba mempertemukan sesuatu yang terlihat s[pontan ekspresif dengan sesuatu yang tampak terkontrol. Ada tarikan tarikan ataupun tegangan tegangan emosional antara kontrol dan spontanitas yang coba Ia hadirkan melalui metode atau cara kerja Putu dalam berkarya. Lukisan – lukisan Putu yang secara sepintas tampak abstrak tersebut sesungguhnya dibangun dari objek objek . potongan potongan kertas yang Ia salin menjadi tam[pak seperti bidang bidang geometris pada karyanya dipadukan dengan salinan potoingan potongan palet cat yang Ia bentuk menjadi bidang bidang yang tak beraturan.

Menyimak karya –karya yang ditampilkan oleh ketujuh perupa muda ini kita akan tersuguhkan oleh keanekaragaman gagasan dan kecenderungan pola dan metode dalam proses kreatif. Namun, kata Susanta dari keanekaragaman tersebut ada satu hal yang bisa kita pakai sebagai frame untuk menautkan mereka, yakni dalam proses mereka berkarya mereka selalu menyediakan ruang – ruang kemungkinan yang terjadi selama prose situ terjadi. Artinya walaupun sebagian besar dari ketujuh orang perupa muda ini mengawali proses kreativitas mereka dengan beranglkat dari gagasan tertentu, pada proses perwujudan atau penubuhan gagasan tersebut dalam karya selalu ada kemungkinan kemungkinan yuang tak terduga dari gagasan awal mereka berangkat, .di tengah perjalanan proses berkarya itu mereka percaya dan memberikan ruang bagi bergerak dan dinamis dan mengalirnya proses hingga mereka berhenti pada satu keputusan untuk mengakhiri proses dan mengkalim karya mereka telah selesai.(*)


Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.