lukisan karya Dangap
RUANG – Dimensi waktu sampai hari ini melaju dalam
dinamika keanekaragaman perkembangan. Sporadis menerjang “ ruang “ menimbulkan
persoalan, digumuli, eksplorasi, sebagai media ungkap yang melakoni kehidupan
sebagai kerja kreatif untuk mengungkapkan kebutuhan untuk mengekspresikan
gagasanya. Gagasan itu seperti samudra mencakup lebih luas dengan segala hal
dan fenomena didalamnya mulai dari persoalan alam, budaya,sosial, politik,
hingga spiritualitas. Atau bisa jadi juga tentang “dunia” kesenilukisan itu sendiri
, sebuah dunia dwimatra yang terlihat seluas bidang gambar dan didalamnya
terdapat struktur ataupun elemen yang mengkontruksinya.
Seni lukis non representasional ini pada puncak
perkembanganya kemudian oleh latar historis yang mengiringi perkembanganya di
dalam seni rupa modern disebut sebagai seni lukis abstrak. Dalam seni lukis
abstrak yang dipersoalkan bukan perkara bagaimana menyalin sebuah realitas alam
tapi bagaimana mempersoalkan membebaskan dan mengeksplorasi potensi struktur
paling elenter (mendasar) dari seni lukis yakni elemen elemen visual semisal
garis, warna ,bidang, tekstrur , komposisi dan lain sebagainya dari “:beban”
untuk meniru atau menyalin objek tertentu di alam secara kasat mata.
Tujuh perupa muda yang tampil dalam pameran ini, secara
karakteristik visual memperlihatkan kecenderungan visual yang mengarah pada dua
kecenderungan yakni ; abstrak dan abstraksi. Jika seni lukis abstrak bersifat
niralam dimana realitas alam bukan merupakan tujuan namun lebih pada titik
berangkat untuk menghadirkan eksplorasi pada wilayah wilayah yang lebih
formalistik, maka abstraksi lebih bersifat liralam.
I Made Susanta Dwitanaya sebagai penulis pameran
menilai dimana realitas objek yang ada di alam disederhanakan sedemikian rupa
hingga menuju pada esensi dari kebentukan itu sendiri untuk dijadikan sebagai
ungkapan yang bisa jadi simbolik maupun puitik. Setidaknya dua kecenderungan
inilah yang dapat kita baca ketika berhadapan dengan karya – karya Komang
Trisno Adi Wirawan, Kadek Darma Negara, Made Kenak Dwi Adnyana, Tien Hong,
Ketut Agus Murdika, Putu Sastra Wibawa dan I Wayan Piki Suyersa.
Pameran ini adalah kelanjutan dari dua pameran sebelumnya yakni “Benang Merah” yang dilaksanakan di Bentara Budaya Yogyakarta pada bulan Oktober 2016 yang lalu, dan pameran “Abstract Is?” di bentara Budaya Bali pada tahun 2017 . Secara visual kekaryaan yang ditampilkan oleh ketjuh perupa muda ini cukup beragam, seperti misalnya Made Kenak Dwi Adnyana yang lebih cenderung ke abstraksi alam dengan masih menampilkan representasi objek alam meskipun dalam perwujudan yang seesensial mungkin,. Dalam pameran ini Kenak menghadirkan seri karya yang didominasi oleh nuansa gelap untuk mempersoalkan cahaya. Baginya Ia tak sepenuhnya ingin terbaca sebagai pelukis abstrak sebab menurutnya Ia berbicara tentang alam realitas. Ia sedang ingin mempersoalkan apa yang tampak sebagai akibat adanya cahaya. Cahaya yang memancar dikala kegelapan bagi Kenak menghadirkan kesan garis batas, garis batas antara bidang akibat dari pertemuan antara dua nuansa warna kontras , terang dan gelap. Dalam menghadirkan konsepnya tersebut Kenak masih merasa memiliki kebutuhan untuk meminjam realitas alam yang telah terabstraksi sebagai cara ungkapnya, maka yang tampak pada karyanya adalah sehamparan ruang gelap yang didalamnya hadir bidang bidang yang secara asosiatif masih dikenali sebagai objek objek representasional di alam semisal gunung, ataupun rembulan.
Alam adalah sumber gagasan yang tidak habis – habisnya
bagi Kadek Darmanegara . Karyanya adalah perjalanan dari abstraksi (liralam)
menuju abstrak (niralam).Warna, garis, bidang, ruang, komposisi yang hadir
dalam karya – karyanya adalah endapan – endapan persepsi dan penghayatannya
pada alam. Lihat misalnya dalam karya yang berjudul “Energi Pagi” persepsi Darma
atas nuansa dan suasana pagi Ia hadirkan dalam pilihan – pilihan warna seperti
warna cakrawala yang terbias cahaya matahari, disamping itu gagasanya tentang
pagi dihadirkan dengan pilihan bentuk kanvas bulat yang secara asosiatif
terbaca sebagai matahari yang sedang terbit bulat sempurna di ufuk timur.
Komang Trisno Adi Wirawan , menggali elemen – elemen alam dalam karya seni lukis abstranya. Persepsi – persepsinya tentang berbagai elemen alam seperti air, tanah, udara, cahaya, dan ether ia hadirkan dalam pilihan – pilihan warna , garis maupun tekstur. Elemen – elemen alam tersebut secara abstraksi melainkan luluh dalam hamparan susunan susunan dan konstruksi elemen – elemen rupa itu sendiri. Persepsinya tentang tanah atau zat padat misalnya Ia hadirkan dalam tekstur misalnya. Elemen cahaya atau zat panas maupun zat cair Ia persepsikan dengan warna – warna tertentu.
Ketut Agus Murdika menghadirkan komposisi bidang bidang dan warna yang dibangun dari sapuan sapuan kuas yang cenderung spontan. Agus mengaku dalam berkarya Ia bergerak secara spontan dan intuitif tanpa terbebani harus menggambarkan apa diawal proses melukisnya Ia percaya sepenuhnya pada spontanitas dan intuisi untuk menghadirkan aspek artistik dari kontruksi elemen – elen rupa yang Ia sedang tampilkan lalu setelah prose situ berlalu Ia melihat hasil akhir dari prosesnya tersebut . Ia lalu membaca dan menghayati sendiri suasana batiniah seperti apa yang hadir pada karyanya pada proses ini kemudian Ia memutuskan untuk memberikan judul pada karyanya. Melihat proses kreatif Agus tersebut kita dapat membaca pola kerja kreatif Agus yang berangkat dari visual dan proses untuk menemukan konsep atau gagasan. Sebuah pilihan metode penciptaan karya yang bersifat memframing atau membingkai spontanitas proses dengan gagasan.
Kecenderungan proses kreatif yang sama dengan Agus
juga terlihat dari kecenderungan pola –pola atau metode penciptaan karya Tien
Hong maupun Wayan Piki Suyersa kedua perupa ini juga percaya sepenuhnya pada
spontanitas dan intuisi untuk menghadirkan karya – karya abstrak yang cenderung
ekspresionistik. Perbedaan keduanya terlihat dari pilihan – pilihan warna dan
teknik yang dihadirkan. Tien Hong cenderung menggunakan nuansa warna warna
komplementer yang cenderung lembut , sedangkan Piki lebih cenderung menggunakan
warna warna primer maupun sekunder dengan sapuan sapuan kuas yang tajam dan
dinamis. Tien Hong, Piki , dan juga Agus ketiganya tampaknya lebih berpijak
pada kecenderungan abstrak yang lebih percaya dan menitik beratkan pada perkara
eksplorasi aspek aspek formalisme dalam karya – karyanya.
Sedangkan Putu Sastra Wibawa adalah perupa yang
tertarik mengeksplorasi persoalan ekletik di dalam karyanya. Ekletisme adalah
suatu perpaduan dua entitas yang saling bertolak belakang. Ia mencoba mempertemukan
sesuatu yang terlihat s[pontan ekspresif dengan sesuatu yang tampak terkontrol.
Ada tarikan tarikan ataupun tegangan tegangan emosional antara kontrol dan
spontanitas yang coba Ia hadirkan melalui metode atau cara kerja Putu dalam
berkarya. Lukisan – lukisan Putu yang secara sepintas tampak abstrak tersebut
sesungguhnya dibangun dari objek objek . potongan potongan kertas yang Ia salin
menjadi tam[pak seperti bidang bidang geometris pada karyanya dipadukan dengan
salinan potoingan potongan palet cat yang Ia bentuk menjadi bidang bidang yang
tak beraturan.
Menyimak karya –karya yang ditampilkan oleh ketujuh
perupa muda ini kita akan tersuguhkan oleh keanekaragaman gagasan dan
kecenderungan pola dan metode dalam proses kreatif. Namun, kata Susanta dari
keanekaragaman tersebut ada satu hal yang bisa kita pakai sebagai frame untuk
menautkan mereka, yakni dalam proses mereka berkarya mereka selalu menyediakan
ruang – ruang kemungkinan yang terjadi selama prose situ terjadi. Artinya
walaupun sebagian besar dari ketujuh orang perupa muda ini mengawali proses
kreativitas mereka dengan beranglkat dari gagasan tertentu, pada proses
perwujudan atau penubuhan gagasan tersebut dalam karya selalu ada kemungkinan
kemungkinan yuang tak terduga dari gagasan awal mereka berangkat, .di tengah
perjalanan proses berkarya itu mereka percaya dan memberikan ruang bagi
bergerak dan dinamis dan mengalirnya proses hingga mereka berhenti pada satu
keputusan untuk mengakhiri proses dan mengkalim karya mereka telah selesai.(*)
0 comments:
Post a Comment