Pameran “Green Care” Melawan Kebiasan “ Pameran “ di Kampung



Perupa Jembrana mengdedikasikan dirinya melakukan pemeran bersama. Empat perupa paling ujung di Bali ini merespon alam sebagai sumber inspirasi. I Made Suta Kesuma, I Ketut Susena, I Made Duatmika, dan I Made Agus Wesnawa satu persepsi dalam keseharian berinteraksi secara intim dengan alam, manusia, dan segala isinya.

Alam dan manusia selau berinteraksi satu sama lainnya, dari sana kedekatan, keakraban, saling percaya dan pada medium lebih besar hidup dengan kekerabatan yang kental. Sikap keharmonisasi yang terbentuk relasi hidup sesuai dengan filsafat manusia Bali adalah Tri Hita Karana. Keempat perupa menggelar pametran yang bertema Green Care di Kebun Raya Jagatnatha di Kota Negara, Jembrana.

Fenomenal dan kontekstual di Bali mengingat terbiasa perupa melakukan pemeran di Denpasar, Gianyar ataupun di Badung. Mereka berani melawan arus berpemeranria di belahan Bali paling barat. Pameran yang memajang sekitar 20-an karya ini, diikuti oleh perupa-perupa kelahiran Jembrana, yang telah puluhan tahun meninggalkan kotanya untuk menempuh pendidikan ISI (Institut Seni Indonesia) Denpasar dengan angkatan yang berbeda-beda.

Memilih kampung sendiri sebagai tempat dan lokasi pameran lebih lagi Jembrana bukan daerah seni rupa mengingat ketersediaan fasilitas terutama gallery belum ada tidak seperti di Giannyar dan Denpasar. I Made Suta Kesuma berpemeran di kampung sendiri bagian dari panggilan hati dan nurani walaupun sering melakukan pemeran di berbagai kota bahkan luar negeri. Hal ini melawan kebiasaan yang dilakukan perupa khususnya yang berasal dari Jembrana. Ia menilai pameran ini merupakan bentuk penunjukan diri kepada masyarakat Jembrana atas kehadiran perupa. Merespon alam Jembrana baik hutan, sungai dan seisinya hutan itu sendiri. Terusiknya perupa mengenai alam yang terkontanimasi dan exploitasi membuat habitat hewan yang berdiam didalamnya merasa terganggung. Jadi kesimbangan harus dilakukan.


Sebagai perupa, Suta Kesuma menunjukan kepada masyarakat Jembrana eksistensi perupa masih tajam. Dan juga memberikan wahana pengetahuna baru mengenai seni rupa. Memang tatkala seni rupa hadir ditengah masyarakat pergunjingan pasti terjadi tapi tidak masalah ini adalah bentuk keseriusan perupa menghadirkan seni kepada masyarakat selain itu juga menunjukan diri bahwa perupa Jembarana masih punya isnsting berkarya untuk daerahnya.

Melupakan sejenak hingar bingar seni rupa di berbagai kota bahkan luar negeri yang pernah dijadikan objek karya. Saat memutuskan menjadikan Jembrana sebagai venue pameran terjadi perselisihan antar perupa tetapi ini bentuk komitmen perupa atas apa yang terjadi daerahnya sendiri. Sementara dukungan Pemerintah Jembrana sangat merespon baik kehadiran perupa. Menarik memang ketika direspon dan diparesiasi seni rupa disanalah kebahagian terasa sampai tembus dalam hati. Masalah ruang pemeran keempat perupa memberanikan diri memutuskan venue tersebut dinamai gallery walaupun tidak seperti itu yang dinginkan hal ini sebagai bentuk harapan kepada Pemerintah Jembrana menyediakn ruang atau artspace bagi seniman.

Otokritik Kerusakan Alam

I Made Suta Kesuma mencoba mempetakan dua musim yang terjadi ironisnya musim penghujan harusnya datang bulan November dan apa yang terjadi panas berkepanjangan. Jadi lagu milik band papan atas internasional Gun N Rose dengan title lagunya November Rain diplesetkan Kesuma jadi November No Rain. Entah mengapa hujan takut menampakan dirinya ataukah karena ulah manusia sendiri. Ia ngga begitu memusingkan hal itu, karena ngga elok menyalahkan. Deforestasi itu terjadi, karena meletakan hutan sebagai wilayah produksi dan itu sebagai alasan untuk mengexploitasi secara terus menerus.

Hutan sendiri menurut padangan manusia Bali adalah tempat angker yang biasa disebut tenget. Sementara sudah lama terdegradasi oleh keinginan manusia dalam memenuhi nafsu bertumbuhnya.

Rumah bagi burung endemik Bali burung jalak terancam tertuang dalam lukisan karya I Made Duatmika. Harusnya membuat kita sebagai manusia Bali menjaga satwa tersebut kenyataan dilapangan menurut data Birdlife International tinggal tersisa 50 ekor di alam bebas. Mencengangkan. burung Jalak Bali dalam lukisan Duatmika bertengger diranting tetapi manusia mengintai keberadannya. Mata manusia mengancam keberada burung tersebut. Duatmika mengambarkan lukisan burung Jalak bersama rimbunnya pohon tetapi nyatanya kehidupanya para penghuni didalam hutan terancam. rumah-rumah satwa berdiami hutan dintai mata manusia yang serakah. (*)


Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.