WAYAN SUJA, PERGOLAKAN IDENTITAS MANUSIA BALI


salah satu karya Wayan Suja dalam pameran tunggalnya di Maya Gallery, Sanur 

Bali yang paling menguat adalah identitas budaya hampir sejengkal kehidupan tak terlepas dari unsur budaya. Pariwisata hadir diawali dengan budaya yang dikembangkan sejak dulu hingga sekarang. Eksisitensi budaya bagaian dari komitmen bersama menjaga identitas. Pada akhirnya identitas itu menguat secara komunal atau kelompok muncullah hegomoni menunjukan diri sebagai penanda " paling ". Secara alam bawah sadar muncul dan menguat karena didasari oleh fanatisme yang berlebihan. Tatkala dalam kemajemukan identitas yang ada benturan kepentingan terjadi, riak-riak kecil akan menyulut pergolakan sangat mudah sekali untuk dibenturkan satu sama lainya.

Persoalan identitas dalam konteks budaya, sebagai seniman yang lahir dan tumbuh dalam lingkup kebudayaan, I Wayan Suja terus mempertanyakan konstruksi identitas pada masyarakat di sekitarnya, yang sekaligus melekat pada dirinya. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul berkaitan dengan berbagai dinamika sosial yang terjadi di Bali saat ini Identitas sudah melekat begitu saja, dan diwariskan secara turun-temurun berdasarkan ikatan darah.

Berkaca dari hal itu, seniman I Wayan Suja bergelora melahirkan karya yang dipamerkan di Maya Gallery, Sanur, Denpasar. Pameran tunggal ini sebuah pertanyaan-pertanyaan Suja terhadap identitas lebih lagi budaya Bali. Sebab Bali, menurutnya situasi sosial yang terjadi di Bali, secara langsung terhubung dengan kondisi yang terjadi di luar sana. Sebagai sebuah gerakan politik, tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap politik identitas mengacu pada persamaan latar belakang yang mengikat mereka ke dalam satu ikatan sosial. Politik identitas sendiri, selain menjadi pemersatu bagi suatu kelompok masyarakat, ternyata juga menciptakan segregasi sosial yang semakin kentara batasnya. Bahkan, kerap menjadi alasan bagi tindakan kekerasan oleh suatu kelompok terhadap kelompok masyarakat lainnya.
kasi identitas justru dipukul rata hanya berdasarkan pada kesadaran atas kesamaan etnis, kebudayaan, atau agama. Tanpa melihat bahwa ada lapisan lain yang membentuk identitas tersebut, yang mengacu pada peristiwa ataupun pengalaman-pengalaman individu yang menjadi bagian dari kelompok masyarakat tersebut. Dalam berbagai konteks sosial, Suja berujar identitas tidak pernah bisa dimaknai secara tunggal hanya dengan berdasarkan pada satu aspek yang melatarinya , melainkan secara mutlak selalu bersifat majemuk dan multilayer. Kerangka identitas tersebut tersusun dari berbagai lapisan yang nampak di permukaan maupun yang tak kasat mata. Meskipun dalam beberapa kasus, klasik.

Bagi Suja, identitas dipahami sebagai sesuatu yang akan selalu bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman dan konteks sosial yang terjadi. Karena itulah, pada karya-karyanya yang terdahulu, Suja dengan berani melepaskan fgur-fgur lukisannya dari berbagai atribut tradisi yang melekat pada masyarakat Bali , lalu menggantinya dengan berbagai produk yang melambangkan spirit modernitas.

Padahal, jika kita kaji lebih mendalam, kondisi ini tidak tercipta begitu saja, melainkan hasil konstruksi politik di masa lalu. Jejaknya tentu bisa dirunut hingga masa kolonial, pasca berakhirnya perang Puputan Klungkung dan dimulainya pendudukan Hindia Belanda atas Bali, sejak itulah proses pembentukan identitas masyarakat Bali “baru” menjadi proyek yang dijalankan melalui kebijakan politik etis Baliseering.

Upaya merekonstruksi identitas masyarakat Bali pada masa itu erat kaitannya dengan kepentingan politik pemerintah Hindia Belanda, selain untuk mendepolitisasi gerakan masyarakat, juga menjadi upaya untuk memperbaiki citra Belanda di mata dunia. Sejak itulah, masyarakat Bali dipaksa untuk menerima identitas baru mereka sebagai Bali yang harmonis, indah, dan eksotis.Pergolakan identitas masyarakat Bali tidak berhenti di sana, kuasa politik terpusat pada masa Orde Baru justru menekan dinamika kultural masyarakat Bali selama lebih dari tiga dekade. Selama itu pula, gejolak identitas masyarakat Bali seperti bara dalam sekam, sebagai akibat dari adanya represi sekaligus eksploitasi terhadap alam dan kebudayaan Bali demi kepentingan pembangunan industri pariwisata. Berbagai elemen kebudayaan tradisional Bali pun mengalami desakralisasi dan komodifikasi, termasuk pada sistem sosial dan ekonomi masyarakatnya. Pasca runtuhnya rezim orde baru, telah terjadi pergeseran tata nilai dalam masyarakat Bali yang cukup signifkan. Dinamika kultural yang sebelumnya dikekang oleh kuasa politik yang terpusat, menemukan momentum kebangkitannya, yang kemudian berimbas secara langsung pada konstelasi sosial dalam melakukan identifkasi terhadap kebudayaan Bali secara menyeluruh. Kelompok masyarakat konservatif secara dominan menggaungkan kembali kebudayaan tradisional Bali sebagai prinsip utama identitas mereka. Selain momen kebangkitan politik kebudayaan tersebut, tragedi bom Bali juga menimbulkan gerakan politik identitas bagi masyarakat Bali yang menempatkan mereka pada kesadaran etnosenstris yang kuat.

Sebagai seorang seniman, secara pribadi Suja mengalami gejolak seputar identitas ke'Bali'an dalam karya seni yang diciptakan olehnya. Pada sejumlah karyanya, Suja memang menghadirkan potret dari fgur-fgur yang mudah untuk diidentifkasi sebagai “Bali” karena mengenakan atribut yang nampak jelas (seperti fgur perempuan dengan busana dan aksesoris tradisional Bali). Namun fgur-fgur tersebut disamarkan dengan lapisan transparan dari plastik kemasan berbagai produk industri yang lazim kita konsumsi sehari-hari. Maknanya, bisa jadi identitas telah menjadi komoditas yang kita terima dan konsumsi setiap hari.

Namun pada seri karya terbarunya, kurator pameran Dewi S. Wibowo dalam kurasinya pada pameran Re-Imaging Identity ini, Suja menghadirkan transformasi pada gagasan dan kekaryaannya secara hampir menyeluruh. Medium cat minyak yang dulu dominan pada karyanya, kini berganti dengan cat akrilik. Perubahan medium ini sekaligus menuntut perubahan teknis pengerjaan karyanya, sekaligus pada efek yang dihasilkan dari karakter medium yang berbeda. Namun, secara sadar hal tersebut dikontekstualisasikan oleh Suja ke dalam konsep kekaryaannya kini. Jika pada lukisannya terdahulu, figur-figur ditampilkan dengan sapuan kuas yang halus, kini lukisannya justru lebih banyak menampilkan goresan-goresan palet yang tebal dan cenderung kasar. Visual tersebut dapat kita maknai sebagai cara pandang Suja saat ini terhadap identitas ke'Bali'an yang terkonstruksi pada masyarakat di sekitarnya, sekaligus melekat pada dirinya.
Penggambaran potret para figur dalam lukisan-lukisan Suja saat ini yang secara kontras dibenturkan dengan latar belakang yang ekspresif, kasar dan cenderung abstrak merupakan sebentuk antitesis terhadap citra umum tentang identitas masyarakat Bali yang selama ini digambarkan secara harmonis, serba teratur, dan eksotis. Lukisan-lukisan tersebut dapat dimaknai bahwa di balik keindahan citra tentang Bali yang selama ini kita terima begitu saja, ternyata menyimpan banyak lapisan yang kontradiktif di baliknya. Identitas Bali saat ini dibentuk melalui rangkaian peristiwa, gejolak sosial, termasuk luka sejarah. Namun oleh kepentingan politik dan ekonomi, bekas luka itu dipupur tebal hingga nampak mulus dan mempesona. Melalui lukisan-lukisan Suja, kita diajak kembali untuk meresapi bahwa apa yang nampak indah di permukaannya, tidak selalu sama di baliknya. Termasuk dalam memandang identitas (manusia) Bali.

" AKU adalah bentuk kesadaran yang muncul dari sebuah kegelisahan akan eksistensi sosial kultural ~ konstruksi nilai kultural sebuah peradaban dalam bayang-bayang serta kepungan keangkuhan ruang dan waktu; resistensi atau mungkin juga negosiasi adalah sebuah keniscayaan dalam pergulatan meretas batas kehidupan global, " celoteh Wayan Suja.(*)

Oleh : Santana Ja Dewa

Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.