pemeran segi-tiga - Andre Yoga, Didin Jirot, dan Luh Gede Gita Sangita Yasa
TIGA bukan sekedar
malasah angka, esensinya lebih dari pada angka dalam kehidupan sering menjumpai
angka tiga. Lingkungan yang paling dekat saat bangun dari tidur adalah rumah, kokoh
sebuah rumah menganut system angka tiga
dalam pondasi bangunan. Setelah keluar dari rumah konsep angkat tiga akan lebih
meluas lagi. Unsur angka tiga masuk setiap perjalanan. Menjabarkan konsep angka
tiga sangatlah komplek tergantung dari sisi subjektiv.
Segi tiga menurut literasi
filsafat yang memiliki arti
cinta, berorientasi pada kebahagiaan, keharmonisan, kekekalan, dan menambah
ketakwaan kepada Tuhan. Mayoritas seseorang, melihat cinta sebagai suatu
kepemilikan yang dapat menimbulkan mutualisme diantara keduanya, hingga
akhirnya status yang dibuat disepakati dan diakui.
Ketiga perupa mulai Andre Yoga, Didin Jirot, dan Luh Gede Gita Sangita Yasa merupakan perupa dengan latarbelakang yang berbeda. Ketiga perupa tersebut secara bersama menggelar pameran sebagai bentuk merawat kesadaran eksistensial dalam medan sosial seni rupa. Ketiga perupa mengakrabi dunia seni rupa melalui jalur akademis—Andre di DKV ISI Denpasar, Didin di seni rupa ISI Yogyakarta, dan Luhde di seni rupa ITB—dibarengi oleh bertemunya mereka dengan iklim berkesenian yang hangat di lingkungan geografis mereka tinggal selama hijrah keluar untuk kepentingan proses perkuliahan.
Ketiga perupa berinisiasinya melakukan pameran “Segi—Tiga” oleh ketiga perupa muda ini,
dapat segera terbaca oleh para penikmat secara sederhana sebagai upaya mereka
dalam menghadirkan pembacaan yang lebih luas oleh publik khususnya di Bali
terhadap karya-karya mereka.
Pameran ini adalah sebentuk rasa optimisme untuk mengembangkan
sayap mereka sebagai perupa muda kontemporer di Bali.
Dipilih sebagai judul pameran, kata Segi— Tiga sendiri
bersifat cair dan bermaksud
untuk membingkai
secara utuh artikulasi khas ketiga perupa muda dengan pilihan bahasa rupa serta
latar historis diri yang berbeda-beda. Tiga
titik sudut mewakili tiga identitas peserta pameran, Andre, Didin, dan
Luhde. Kemudian keterhubungan ketiga titik identitas ini terbaca melalui
rusuk-rusuk yang berupa dorongan eksistensial, atau bahkan boleh jadi berupa
perbedaan individu-individu dan keragaman budaya Bali itu sendiri.
Identitas, kata Gidden, adalah sebuah proyek manusia untuk melanggengkan
narasi tentang dirinya. Namun identitas— apa yang kita pikirkan tentang diri
kita— selalu berubah dari situasi yang satu ke situasi yang lain, bergantung
pada ruang dan waktunya. Pameran ini, narasi tentang diri mereka hadir khas
karena menyinggung pengalaman-pengalaman personalnya. Secara subjektif mereka
tengah mengkonstruksi citra atas dirinya dengan menggali dan memaknai segala
persoalan yang melingkupi diri masing-masing.
Luhde menuturkan dirinya tengah didiagnosa mengalami
kecenderungan bipolar atau sejenis gangguan yang mempengaruhi suasana hatinya
secara episodik. Tanpa pola atau interval waktu yang pasti, ia kadang bisa
sangat semangat secara ekstrim (manik) dan kadang juga bisa merasa sangat down atau terpuruk (depresif). Perubahan
emosi yang drastis inilah yang menandai periode kekaryaan Luhde setelah ia
kembali ke Bali. Bagaimana kemudian Luhde mengatasi kondisi ini ketika melukis,
juga adalah hal yang sangat menarik untuk disinggung dalam tulisan
singkat ini. Simak pernyataan
singkat Luhde berikut mengenai kesulitan- kesulitan yang ia hadapi.
Luhde menyampaikan bahwa setelah melalui terapi dan pengobatan
selama beberapa bulan, kini ia perlahan-lahan
dapat menemukan ritmenya kembali. Eksplorasinya pun lalu menajam
pada kondisi yang ia jalani, kondisi itu sekaligus menjadi salah satu alasan
pokok dibalik perubahan-perubahan yang tampak
dalam karya Luhde. Apabila dalam edisi
Paradiso- paradiso terdahulunya ia lebih tertarik memasukkan citra
eksotis Bali berikut hamparan pantainya dan sisipan fragmen- fragmen memori
personal yang saling teriris sebagai representasi realitas idealnya kala itu,
Paradiso Luhde hari ini lebih kepada menggali persoalan kedalaman jiwanya.
Namun bila kacamata “segitiga” yang disampaikan di awal tulisan
ini coba dipakai, maka yang tampak kemudian adalah tiga identitas yang
sama-sama kuat-menguatkan, mereka menciptakan sebuah makna atau identitas yang
baru, boleh jadi mengaburkan batas-batas antar identitas, lagi-lagi bergantung
dari sudut mana kita ingin mengamatinya.
Akhir kata, tulisan ini hadir tidak untuk menyimpulkan identitas
teman-teman yang berpameran melainkan menjadi salah satu
hasil pembacaan yang dapat dipakai untuk mendekati karya-karya mereka. nPameran
Segi—Tiga ini juga sangat mempersilahkan tumbuhnya pembacaan lain kepada tiga
orang muda ini dengan metode, pendekatan, serta kemungkinan- kemungkinan
lainnya yang akan turut memperkaya dan melengkapi isi pameran ini. Selamat mengapresiasi! (*)
0 comments:
Post a Comment