Foto : Lukisan Ferry Setiawan
Berada dalam titik getir, turunan akibat Pandemi tidak hanya
merimbas pada kesehatan, pergerakan masyarakat dibatasi yang pada juntrungannya
adalah masalah ekonomi. Nah, dari sana muncul problematika semakin ruwet dan
kemana-mana. Tekanan tersebut bergerak dengan senyap terstruktur dan
kawan-kawan lainnya, dari sana psikologi tak bisa membentengi lagi. Tsunami
yang bernama Pandemi covid-19 meluluh lantakan semuanya. Disini tak mengenal
siapa-siapa walaupun Putra Sultan pun jika terlalu lama bisa kalah juga. Waktu
yang banyak akibat sering berada di rumah saja sementara cadangan keuangan
menepis. Mulai orang-orang bimbang, binggung atau bahasa melenialnya GALAU
jalan tengah yang bisa ditempuh cuma mengisi kegiatan entah kegiatan apa yang
penting mengarah pada menghibur diri.
Jikapun dianologikan dalam permainan bola kita berada dalam
tekanan situasilah yang membuat begitu. Dan, kita dipaksa menggunakan strategi
parkir bus sekali-kali memanfaatkan serangan balik walaupun tidak ada hasil.
Point' paling penting yang dimaksud sekali-kali serangan balik adalah bagaimana
kita menjaga kesehatan,menyemangatkan diri dan secara dalam rel optimisme.
Semuanya mengalami situasi hal ini.
Menurut psikolog dalam hal ini tetap menjaga keseimbangan
emosional, terjaganya optimisme walalupun situasi yang tak pasti. Kembali dalam
permainan bola yang menentukan tetap pemain bukan penonton sementara pelatih
hanya mengarahkan dan mengatur pola permainan tersebut. Sensetive sekali
situasi memang, KEMARAHAN mudah sekali dilecut. Kehatian-hatian kita selalu
waspada dalam hal ini. Kantong kosong menekan hebat pikiran mudah liar. Mari
kita menjaga diri masing-masing tahan sedikit hegomoni jangan samakan situasi
seperti normal. Mudah sekali dan gampang kita dimanfaatkan hal-hal yang remeh bisa
jadi membesar ketika besar masalah semakin lebar, jika tersebut terjadi wah
bisa-bisa sulit diatasi. KEMARAHAN ini sekarang lagi TELANJANG.
Semua berada titik yang sama, titik nol keistimewaan bersarang
jadi tirani. Produktivitas adalah jaga asa mengisi ketidakpastian yang terpola
medan juang yang wajib diperjuangkan. Semua ingin berada diposisi puncak, apa
daya disamaratakan oleh situasi. Keruwetan menjalar dimana-mana urusan yang
sepele jadi mencuat besar yang besar ditambah besar, entahlah sampai kapan ini
terjadi.
Seksama kita melihat situasi mungkin diluar kotomi kendali.
Berserah padaNya doa-doa mengalun terucap dibibir. Pilih medan juang atau
bahasa mudahnya selamatkan diri masing-masing. Penen keluh kesah, kritikan dan
sanggahan berseliweran disosial media. Perjuangan sudah dilakukan tetapi waktu
tak bisa.
Mark Manson dalam bukunya The Subtle Art Of Not Giving A F*ck
menulis social media medium memanen perhatian dan emosi yang jauh lebih banyak
dan menarik ketimbang sebagain besar peristiwa lain serta mampu memberikan
imbalan berupa perhatian dan simpati yang melimpah ruah, kepada orang-orang
yang mampu secara terus-menerus. Faktanya, ini mungkin pertama kalinya dalam
sejarah manusia bahwa setiap kelompok demografik merasa menjadi korban ketidakadilan
secara terus-menerus. Dengan sengaja menunggangi kegeraman moral yang
menyertai.
Iklim media saat ini secara bersama mendorong sekaligus
melanggengkan reaksi semacam itu karena menguntungkan. Penulis komentator media
Ryan Holiday menyebut hal ini sebagai PORNOGRAFI KEMARAHAN . Orang-orang pun
jadi kecanduan, merasa dirinya tak henti-hentinya diserang karena ini member
mereka kenikmatan , menjadi pihak yang dibenarkan, dan secara moral menjadi
superior itu terasa enak. Seperti yang digambar seseorang kartunis politik Tim
Kreider di New York Time op-ed” Lupan kemarahan seperti banyak hal lainya
terasa enak tapi setelah beberapa lama itu akan menelan kita dari dalam. Dan
hal ini bahkan lebih berbahaya daripada kejahatan itu sendiri karena kita
bahkan, secara tidak sadar, mengakui kalau itu sebuah kenikmatan. Namun bagian
dari hidup dalam sebuah masyarakat yang demokratis dan bebas adalah bahwa kita
semua harus berhadapan dengan berbagai pandangan dan orang yang berseberangan.
Sementara Henry Manampiring penulis buku Filosofi Teras menyebut
kemarahan bisa begitu memuncak hanya dari penyebab awal yang remeh. Betapa
benar dan tragis. Pernahkan kita membaca berita dua kampung bisa tawuran hanya
karena urusan pertandingan bola ? Orang-orang berpendidikan bisa naik pitam,
bahkan baku hantam di jalan, hanya karena urusan mobil keserempet.
Dalam bentuk lain, tetapi sama “gila” –nya, adalah perlakukan
kita di media social. Hanya karena urusan satu tweet status di social media,
bisa terjadi pertengkaran berjilid-jilid dengan modal jempol. Saneca mengatakan
kemarahan memengaruhi kewarasan. Mungkin, karena hal ini juga orang Jawa dulu
menarik kesimpulan “ Yang waras mengalah. Karena percuma berhadapan dengan
orang yang sedang tidak waras, walaupun hanya sementara . “ Dahan yang dipotong
dari dahan sebelumnya juga terputus dari pohon keseluruhan. Begitu juga manusia
yang terpisahkan dari manusia lain juga terputus dari masyarakat keseluruhan, “
kata Marcus Aurelius.(*)
Sumber literasi :
- Mark Manson, The Subtle Art Of Not Giving A F*ck
- Henry Manampiring, Filosofi Teras
Oleh : Santana Ja Dewa
0 comments:
Post a Comment