EMBAS, HIDUP DAN CINTA

 

I Made Arya Dwita Dedok saat on the spot painting di Kota Magelang 

 

Pertama menapak dunia “ embas “ terlahir ditandai isak tangis yang disambut dengan raut wajah kebahagian menanti insane hidup yang lahir. Yang lahir tak mengetahui akan gimana dunia dikemudian hari, entitasnya saat mengetahui kehidupan baru sadar bahwa setiap yang lahir dengan berbagai keunikan dan karekteristik yang BEDA. Jika pun sama itu hanya disatukan oleh social capital semata padahal beda itu sejak ia terlahir. Gejolak beda yang berbeda adalah bumbu-bumbu yang bisa dikombinasikan sebagai kekuatan bukan malah menjadi perseteruan atas dalih-dalih kepentingan.

 

Berbeda ditengah ketidak kesamaan adalah molekul yang sulit dalam mengandalikan hegomoni yang menyatakan diri keAkuan yang paling istimewa dari yang lain. Entah pada porsi strata social, politik, dan agama. Keniscayaan berada ditengah lautan perbedaan yang tak bisa disamakan hanya bisa dikondisikan secara idiologi atas dasar perbedaan menjadi penyatuan. Sering kita melihat pergolakan terjadi dimana-mana mulai sejak peradaban ini dituliskan dalam sejarah bahwa perbedaan pandangan dan idiologi pemicu runtuhnya perdamain.

 

Cinta merupakan tindakan universal sebagai bentuk ungkapan penyatuan diri selanjutnya dengan ditambah kata kasih. Jika beda itu dimasalah akan sangat runyam dan perseteruan akan terus hadir tak ada ujungnya. Peradaban telah mengajarkan sebagai kontemplasi seperti yang sudah terjadi di bumi Nusantara. Ikhtiar penyatuan politik yang dilakukan Kerajaan Mataram Kuno berupa Candi Prambanan dan Borobudur. Sama-sama mempunyai hegomoni politik yang kuat dan kepercayaan yang dinyakini.

 

Dilansir dari liputan6, Pendirian Candi Borobudur rupanya diwarnai cerita persaingan dan perkawinan antar dinasti di Kerajaan Mataram Kuno. Candi Borobudur yang menjadi wujud kekuasaan Dinasti Syailendra memancing reaksi Dinasti Sanjaya. Rakai Pikatan sebagai pemimpin Dinasti Sanjaya kemudian mendirikan Candi Prambanan pada 850 Masehi sebagai tandingan sekaligus menunjukkan kekuasaan dinasti Hindu di Tanah Jawa. "Seperti yang diketahui, dua dinasti itu bersaing di Kerajaan Mataram Kuno, walaupun akhirnya juga berdampingan karena perkawinan politik," ujar Ririn Darini, dosen Ilmu Sejarah Fakultas Universitas Yogyakarta (UNY).

 

“ Perbedaan itu fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal”. Begitu pernyataan Abdurrahman Wahid yang populer disebut Gus Dur. Perbedaan mudah sekali diprovokasi, tindakan dalam konsep penyatuan tidaklah semudah dan gampang, Legecy Gus Dur foundamental pluralisme menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara. Secara sederhana pluralisme merupakan paham yang mentoleransi keberagaman pemikiran, peradaban, agama dan budaya Bukan hanya mentoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.

 

Pluralis merupakan suatu sikap keberagaman yang memandang semua agama sama dan sikap ini lahir merupakan bentuk keniscayaan di saat pola keberagaman agama, kultur, ras, bersama-sama hidup dalam satu komunitas. Dengan sikap dan kesadaran ini pula dapat memunculkan toleransi, dialog, kerjasama, solidaritas, persamaan, dan tatanan politik yang demokratis. Dalam pandangan Gus Dur, sikap pluralis ini perlu dikembangkan untuk membina kerukunan antar umat beragama.

 

Menurut Gus Dur, bahwa perbedaan keyakinan secara teologis tidak akan menghalangi untuk bekerja sama antar Islam dengan pemeluk agama lainnya, terutama dengan menyangkut berbagai masalah kemanusiaan. Baginya, sikap saling pengertian merupakan yang mendasar bagi umat beragama, sehingga dapar bersama-sama melakukan refleksi diri dan bersama-sama menegakkan moralitas, keadilan, dan perdamaian umat manusia.

Kemampuan untuk menerima perbedaan adalah tindakan pluralisme. Penekanannya adalah pluralisme kesediaan dan kemampuan psikis untuk hidup berdampingan dengan orang atau kelompok yang berbeda suku, adat, agama, bahasa, etnis, dan lain-lain.

 

I Made Arya Dwita Dedok melihat perbedaan adalah keniscayaan yang hadir sebagai takdir di Indonesia. Dari sana sebagai seorang Perupa yang tinggal di Kota Megelang, Jawa Tengah merespon perbedaan yang terjadi bukan sebagai pemicu tetapi ada penyatuan kesamaan ditengah lautan perbedaan itu sendiri.

 

Made Arya Dedok memainkan peranya melenggang-lengok tangan memegang kuas menggoreskan warna-warni di kanvas. Deru kendaraan yang hilir mudik music baginya saat ia melakukan melukis on the spot di jalanan Kota Magelang. Alun-alun adalah titik nol dimana adanya klenteng, masjid dan gereja di sana, miniature Indonesia ada di Kota Megelang menjadi contoh kebhinnekaan dan keberagaman.

 

Membahas perbedaan tidak akan pernah selesai, ada saja bahan untuk berdebat mempermasalahkan menjadi pembeda. Kedewasaan “ Pluralisme “ menginspirasi seniman asal Bali untuk menyebarkan cinta dan kasih kepada sasama atas dasar cinta dalam arti yang luas, jadi kedamian hidup ketiga pilar terasa ada kesatuan yang utuh yakni cinta, keberagaman dan toleransi.

 

Berpakaian serba putih ala Bali mengibaratkan bagaimana kemurnian cinta yang ia sebarkan memalui karya pesan yang sederhana untuk mengelobalan konsep penyatuan. Licah jemari Dedok melukis diatas kanvas berukuran berukuran 2×1,45 meter. Megelang Love tajuk lukisan Made Dedok, menarik dalam aksinnya yang dilakukan bertepatan dengan Hari Hut Kota Magelang ke 50 tahun yang jatuh pada 10 Juni 2021 yang lalu.(*)

 

Oleh : Santana Ja Dewa

 

Share on Google Plus

wak laba

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

http://waklaba.blogspot.com/. Powered by Blogger.