Pemaren Batu Karang Art dibuka Camat Nusa Penida, I Komang Widyasa Putra
NUSA PENIDA – Komunitas
Pelukis Nusa Penida Batu Karang Art menggelar pameran bersama di Ruang Tunggu
Pelabuhan Kapal Roro. Pemeran yang bertajuk “ Panggilan Jiwa “ menyajikan karya
sebanyak 28 dibuka oleh Camat Nusa Penida, I Komang Widyasa Putra, Jumat (11/9/2020)
pagi tadi.
Batu Karang Art
notabene dibentuk sebagai perhimpunan pelukis dari Nusa Penida. Walupun
demikian tidak menutup kemungkinan merangkul yang lainya pasalnya keberadaan
seniman asal Nusa Penida masih tersebar di Denpasar, Sukawati dan sekitarnya.
Menurut Penulis
pameran, Santana Ja Dewa, Batu Karang disahkan jadi nama komunitas berdasarkan
perjalanan panjang sejarah Nusa Penida. “ kami memilih nama tersebut
berdasarkan sejarah dan geografi wilayah, “ ujarnya.
Semenjak lama berada
dirumah, kata Santana dampak efeh dari covid-19 dari perenungan perupa tidak
bisa berdiam begitu saja. Memelihara imajinasi tetap melakukan aktifitas
melukis. Waktu dan ruang yang tepat disambut baik dari empat perupa yakni Pacul
Sudiarsa, Pan Bayu Made Sumerta, Dewa Merta Nusa serta Ferry Setiawan “ Roots “
memproklamirkan diri menggelar pameran bersama.
Panggilan Jiwa merujuk
tema yang menghadirkan karya-karya perupa Nusa Penida lintas generasi secara
karya ada realis, surealisme, abstrak, expressionis serta kombinasi tradisi
poin yang disajikan. Menurt Santana ini langkah progresif yang dilakukan ini
adalah pionir dalam hal berkesenian. Kesibukan berkelana berpameran dimana-mana
menerobos waktu dan ruang, benang merah dipertemukan dalam kesempatan yang
sama.
Perupa Dewa Merta Nusa
menyampaikan dalam kegiatan berkesenian di Nusa Penida adalah bagian dari
penyeimbangkan seni dan pariwisata itu sendiri. Dalam hal ini Nusa Penida hanya
dikenal secara luar pemandangan alam, kita sebagai perupa melengkapi.
“ seni dan pariwisata
harus dikalaborasikan sehingga tatanan pariwisata lebih berwarna, “ kata Merta.
Hal senada yang
disampaikan Ferry Setiawan, mengenai seni rupa jarang bahkan tak terbaca bagi
penikmat seni rupa Nusa Penida menggelar kegiatan pameran. Kalau daerah Ubud,
Sukawati dan Sanur sudah hal yang biasa. Nah, jadi kita disini dibawah
Komunitas pelukis Nusa Penida menjadi penghubung antara seni dan pariwisata itu
sendiri. “ kita berangan-angan dan harapan yang besar keberadaan seni rupa di
Nusa Penida memberikan sumbangsih, “ ujarnya.
Camat Nusa Penida, I
Komang Widyasa Putra saat meresmikan pameran memberikan apresiasi telah
menggelar pameran di Nusa Penida. Hal-hal seperti ini akan rindungan di Nusa
Penida, kehadiran senirupa bagian dari pelengkap dimana selama ini pariwisata
dan seni tidak ada penghubung, korelasinya dua arah. Momentumnya adalah
kebangkitan, kami mengharapkan hal ini menjadi dualitas yang menyatu menjadi
kesatuan.
Dalam karya, Pacul
Sudiarsa tetap setia pada abstrak, ia tetap saja menghadirkan nuansa tradisi
membumbui tradisi yang kental ditengah masyarakat. Menarik disini. Pakumnya
Pacul dari dunia kanvas terbentur kesibukan dunia pariwisata saat kondisi
stagnan baru ia kembali ingat pada kawitannya yakni melukis. keceriaan warna
yang dimainkan Pacul langkah yang berani combine sedikit warna gelap.
Hal senada dengan Dewa
Merta Nusa, abstrak tidak bisa dilepaskan begitu saja dan bagian dari identitas
dirinya. Progesif percikan warna senja dengan kondisi alam Nusa Penida yang
mengagumkan divisualkan. Sejuk, kalem kesan yang dihadirkan dalam karyanya.
Beda halnya dengan
Ferri Setiawan “ Roots “ kecenderungan mengarah pada ekspressionis mendistorsi
kenyataan dengan efek-efek yang emosional.
Batu karang keras dan
kering sudah akrab penduduk kehidupan keras mengingatkan manusia menjalani.
Begitu juga kehidupan sebagai nelayan. Hidup dan besar lingkungan pesisir bagi
Pan Bayu Made Sumerta bernostalgia kecenderungan ini diexpresikan dalam
karyanya. Bermain abstrak dengan tambahan net atau jaring nelayan bagian dari
identitas seorang Pan Bayu. Kepekaan Pan Bayu terhadap rutinitas nelayan
dihadirkan dalam ranah seni rupa. Pan Bayu asalah salah satu perupa esentrik
dalam berkarya. Jaring lusu tidak lagi digunakan nelayan disulap Pan Bayu
sebagai bahan dasar lukisan. Sulit emang !
Ada sesuatu benturan
disini, Pan Bayu tetap teguh mempertahankan prinsip dalam berkarya mengingat
kehidupan pesisir membesarkannya. Setidaknya ada sesuatu ucapan terima kasih
melalui karya. Sebagai seorang perupa berkewajiban berani tampil beda pendobrak
hegomoni masyarakat. Lipatan semraut jaring ditempel dalam kanvas sedemikian
rupa. Aroma laut disatukan di kanvas Pan Bayu telaten dan teliti menempel
jaring. Karya Pan Bayu tidak jauh dari lingkungan pesisir namun tetap dengan
gaya khas menjadi identitas abstrak. Sapuhan kuah dan goresan palet memainkan
warna. Warna biru mendominasi menyesuaikan kehidupan pesisir mengagumkan. Warna
biru tidak melulu mendombinasi karya Pan Bayu warna coklat hingga gelap seperti
karyanya dibawah laut.(*)
0 comments:
Post a Comment