Oleh : Santana Ja Dewa
MERASAKAN “sense of
purpose”, menemukan panggilan jiwa sebagai pertanyaan dengan peran yang
dilakoni. Pertempuran pertanyaan yang mengendap dipikiran, peran perupa dalam
hal ini rasa “ berkesenian” mencuat meledak-ledak sementara terlalu sibuk akan
kegiatan berkarya di luar tanah kelahiran. Tiada waktu sama sekali, belum lagi
semangat yang sama dari lainya, ini penyebab mandeknya orgasme ide, akan tetapi
sebagai yang lahir dan besar kata wajib terus membayangi, mengumpulkan momentum
disaat yang tepat.
Begitu yang terjadi di
Komunitas Seni Rupa Nusa Penida, Batu Karang Art nama yang disahkan. Nusa
Penida sendiri menurut pengamatan para ahli pulau yang dikenal dengan aura
spiritualnya muncul dari karang. Dialog terus mencuat merumuskan ide yang yang
segar, dari sana spirit yang sama mendedikasikan diri berkesenian secara
berkelompok, Pacul Sudiarsa, Ferri “ Roots “ Setiawan, Dewa Merta Nusa serta
Pan Bayu Made Sumerta memproklamirkan diri menggelar exhibition.
Panggilan Jiwa merujuk
tema yang menghadirkan karya-karya perupa Nusa Penida lintas generasi secara
karya ada realis, surealisme, abstrak, expressionis serta kombinasi tradisi
poin yang disajikan sebanyak 28 karya. Langkah progersif yang dilakukan ini adalah
pionir dalam hal berkesenian. Kesibukan berkelana berpameran dimana-mana
menerobos waktu dan ruang, benang merah dipertemukan dalam kesempatan yang
sama.
Menelisik pulau yang
terletak di sebelah selatan Bali yang dikenal dengan berbagai sebutan tercatat
dalam sejarah. Sesuai dengan buku karya Mangku Buda, Babad Nusa menceritakan
Nusa Penida diambil dari kata Nusa dan Pandita. Dimana Nusa Penida notabene
daerah aura spiritual yang kental. Sementara Hindia- Belanda menyebut Nusa
Penida sebagai The Bandit Island yang menglitimasi kekuasaannya bagi para
bagundal-bagundal yang menentang kebijakan dikirim ke Nusa Penida. Namun
demikian, tidak sepenuhnya apa yang ada dalam catatan Belanda bisa dipercaya.
Sebab ada kemungkinan politik wacana sengaja dihembuskan.
Sudut pandang lain, I
Ketut Sandika yang merupakan Dosen IHDN Denpasar berpandangan terlepas dari
babad dan mitos, yang jelas citra Beliau “ Ratu Gede Mecaling “ akan selalu
hadir dalam setiap alam pikir orang Bali dan Nusa. Tidak saja sebagai tokoh,
tetapi bisa jadi sebagai ideologi Bhairawa yang teralienasi dengan paham baru.
Sengaja ideologi tersebut mereka sebarkan di pulau yang sunyi, jauh dari hiruk
pikuk pergumulan agama-agama baru yang sudah diracuni politik agama dan
kekuasaan.
Spirit tersebut akan
tetap ada di Nusa, sehingga banyak yang datang ingin menyelami dunia Bhairawa
yang identik dengan digjaya dan wisesa. Hal inipun kebanyakan tidak diketahui
oleh orang Nusa sendiri, bahwa mereka adalah pewaris sah tradisi Bahirawa
Tantra dimana orangnya keras, tetapi dibaliknya ada sisi kelembutan yang luar
biasa. Sebagaimana Hyang Bhairawa yang selalu menunjukkan kemurkaannya untuk
melebur, dan penuh kelembutan ketika ia mencipta dan memelihara bumi. Nusa
Penida, yakni pulau tua yang memberikan keseimbangan Bali dan Bhuwana.
Sejarah Nusa Penida
sangat panjang untuk ditelisik yang bisa dirangkum adalah spirit, Batu
KarangArt membangun spiritualitas dari aura pulau Nusa Penida dalam medium
kanvas. Panggilan jiwa adalah jawaban dari perupa dimana peran sebagai seniman
mengvisualkan spirit didalamnya.
Kultur, social, alam
dan pariwisata itu circle didalamnya, begitu juga dengan keberadaan seni rupa
itu sendiri seperti halnya daerah Ubud, Gianyar. kehadiran Walter Spier
memberikan warna kesenirupaan perpaduaan seni modern dan tradisi. Kemasyuran
nama Walter Spies telah tertulis dalam buku “ Bali Pariwisata Budaya dan Budaya
Pariwisata ” karya penulis Perancis Michael Picard ( 2006 ) sempat diulas
kiprah Walter Spies sebagai salah satu Pioneer Pariwisata Bali selama menetap
di Ubud. Spies tiba di Bali dalam era penjajahan Belanda di tahun 1927 dan
menetap belasan tahun di Bali. Selama periode itu Spies menjadi orang yang
banyak mengetahui tentang Bali. Dia bahkan menjadi pemandu bagi para seniman,
penulis tokoh lainnya yang berkunjung ke Bali.
Sementara tokoh Puri
Ubud kala itu Cokorda Gede Agung Sukawati mengembangkan tempat tinggal Walter
Spies yang tak lain merupakan tempat miliknya menjadi Guest House. Seiring
berjalannya waktu makin banyak wistawan asing yang berkunjung ke Gianyar
khususnya Ubud, sehingga makin bertambah pula sarana dan prasarana penginapan
yang dibangun oleh masyarakat setempat.
Apa yang terjadi di
Nusa Penida ! kehadiran seni rupa setidaknya melengkapi kepariwisatan Nusa
Penida itu sendiri, berkaca dari pengembangan seni dan pariwisata dimana
dualitas dihadirkan.
Dalam karya, Pacul
Sudiarsa tetap setia pada abstrak, ia tetap saja menghadirkan nuansa tradisi
membumbui tradisi yang kental ditengah masyarakat. Menarik disini. Pakumnya
Pacul dari dunia kanvas terbentur kesibukan dunia pariwisata saat kondisi
stagnan baru ia kembali ingat pada kawitannya yakni melukis. keceriaan warna
yang dimainkan Pacul langkah yang berani combine sedikit warna gelap.
Hal senada dengan Dewa
Merta Nusa, abstrak tidak bisa dilepaskan begitu saja dan bagian dari identitas
dirinya. Progesif percikan warna senja dengan kondisi alam Nusa Penida yang
mengagumkan divisualkan. Sejuk, kalem kesan yang dihadirkan dalam karyanya.
Beda halnya dengan
Ferri Setiawan “ Roots “ kecenderungan mengarah pada ekspressionis mendistorsi
kenyataan dengan efek-efek yang emosional.
Batu karang keras dan
kering sudah akrab penduduk kehidupan keras mengingatkan manusia menjalani.
Begitu juga kehidupan sebagai nelayan. Hidup dan besar lingkungan pesisir bagi
Pan Bayu Made Sumerta bernostalgia kecenderungan ini diexpresikan dalam
karyanya. Bermain abstrak dengan tambahan net atau jaring nelayan bagian dari
identitas seorang Pan Bayu. Kepekaan Pan Bayu terhadap rutinitas nelayan
dihadirkan dalam ranah seni rupa. Pan Bayu asalah salah satu perupa esentrik
dalam berkarya. Jaring lusu tidak lagi digunakan nelayan disulap Pan Bayu
sebagai bahan dasar lukisan. Sulit emang !
Ada sesuatu benturan
disini, Pan Bayu tetap teguh mempertahankan prinsip dalam berkarya mengingat
kehidupan pesisir membesarkannya. Setidaknya ada sesuatu ucapan terima kasih
melalui karya. Sebagai seorang perupa berkewajiban berani tampil beda pendobrak
hegomoni masyarakat. Lipatan semraut jaring ditempel dalam kanvas sedemikian
rupa. Aroma laut disatukan di kanvas Pan Bayu telaten dan teliti menempel
jaring. Karya Pan Bayu tidak jauh dari lingkungan pesisir namun tetap dengan
gaya khas menjadi identitas abstrak. Sapuhan kuah dan goresan palet memainkan
warna. Warna biru mendominasi menyesuaikan kehidupan pesisir mengagumkan. Warna
biru tidak melulu mendombinasi karya Pan Bayu warna coklat hingga gelap seperti
karyanya dibawah laut.(*)
0 comments:
Post a Comment