GIANYAR --- Pandemi Covid-19 direspon kalangan seniman, gimana
pandemic yang merontokan segala sendi kehidupan masyarakat termasuk dalam
aktvitas berkenian. Penghabiasan tahun 2020, seniman yang tergabung memperkarsai
melakukan pergelaran pameran bersama yang bertajuk “ Diarama Cronic “ di di
rumah Paros, Jl. Margapati, Br. Palak, Sukawati, Gianyar, Bali.
Sebelas perupa tersebut yakni I Kadek Rudiantara (Aboetd ), Made
Astika Yasa, Putu Adi Suweca (CYX Daeng), I Kadek Dedy Sumantra Yasa, Ito Joyo
Atmojo, I Gede Made Surya Darma, I Made ‘’Lun’’ Subrata, I Ketut Putra Yasa, I
Gusti Made Wisatawan, Raden Bagus Surya Ningrat. Mereka menampilkan karya
berupa Lukisan, patung dan seni Instalasi.
Saat dikomfirmasi, Jumat (1/1/2021) Made “Kaek” Dharma Susila,
founder Rumah Paros merespons positif semangat para perupa untuk memamerkan
karyanya. Rumah Paros merupakan sebuah ruang seni yang dibangun berdasarkan
konsep Asta Kosala Kosali, sistem arsitektur rumah Bali yang dibangun sejak 20
tahun yang lalu. Bale daja Rumah Paros yang biasanya digunakan untuk menerima
tamu, difungsikan sebagai ruang berkesenian. Sebab, seni dan budaya sebagai
dasar hospitality sangat penting dilestarikan.
‘’Pameran kali ini sangatlah penting sebagai penutup tahun 2020.
Saya menyambut baik semangat teman seniman yang begitu tinggi, di tengah
kondisi pandemi. Mereka ikut mempersiapkan pameran ini secara kilat yang
digagas I Kadek Dedy Sumantra Yasa. Kami memfasilitasi ruangnya sebagai tempat
untuk menampilkan karya kreatifnya. Tentu dengan segala keterbatasan di masa
pandemi ini. Kami harapkan semua pengunjung menerapkan protokol kesehatan
dengan 3 D—memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, menimbang kasus
COVID-19 masih melanda dunia,’’ ujar Made Kaek yang juga seniman dan pelaku
pariwisata ini.
Dalam kesempatan itu Made Kaek juga mendorong seniman untuk selalu bersemangat. Jangan menyerah memperkaya kegiatan seni dan budaya di Indonesia melalui jalur kesenian. ‘’Sebab, itu merupakan panggilan batin kalian, salah satu dengan membuat karya seni. Kita membuat legacy dalam hidup ini,’’ ujarnya Made Kaek yang sudah melalang buana mengikuti kegiatan kesenian dan juga terlibat dalam pameran Made Wianta dan kawan kawan di Venice Bienale.
Merespons Pandemi
Tema Diorama Cronic itu diambil sebagai respons atas situasi
Pandemi Covid 19 yang sudah kronis melanda dunia. Diorama diartikan sebagai
benda miniatur, tiga dimensi untuk menggambarkan suatu pemandangan atau suatu
adegan. Sedangkan kronis yang biasanya banyak dipakai dalam istilah kedokteran,
menunjukkan kondisi atau sifat penyakit yang telah lama terjadi. Pada kondisi
ini, penyakit bersifat persisten dan biasanya telah berdampak pada beberapa
sistem tubuh. Sebelas seniman yang berpameran tersebut merespons kondisi dunia
yang kronis, dengan karya dua dimensi dan tiga dimensi.
Dalam karya seni yang tiga dimensi bukan lukisan, ada karya dari
I Gede Made Surya Darma yang merespon crinisnya dunia di masa Pandemi ini
dengan menampilkan karya berupa poto performative, dengan judul blind In
Paradise, dengan memotret sosok dirinya yang matanya di tutup dengan kain
putih, yang sedang makan salad buah dan toest berupa pulau, sebagai simbul akan
Bali yang bergelimbang pariwisata, kita di butakan dengan kenyamanan pariwisata
tersebut, dan akhirnya di masa Pandemi in Bali mendapat pukulan keras ekonomi,
karena Bali pengasilan utamanya Pariwisata, Karya I Kadek Dedy Sumantra Yasa
Karya ini bermakna bahwa dalam masa susah ini, ada satu jalan yaitu berserah
kepada-Nya, hanya menggunakan kekuatan apa adanya simbul dari satu senar
tersebut, I Ketut Putrayasa, dengan karya Instalasi dengan judul “Apa
Pertimbanganya” menampilkan Krupuk sebagai representasi masyarakat kelas bawah
, yg mana pada saat - saat situsi kronik ( kronis) mereka perlu adanya sebuah
kepastian bukanya selalu di gantung seperti miniatur( diorama) kehidupan yang
di pertontonkan, dan seakan - akan kesulitan mereka hal yg seksi , gurih dan
renyah . Kehadiran dasi mewakili eksistensi kaum elit dan hak dalam meregulasi
kebijakan , namun seringkali kebijakan hari ini terasa renyah ditelinga namun
esok hari , Karya I Kadek Rudianta (Aboet) menampilkan karya Modipikasi Motor,
yang dia rubah seperti monster makhluk imajiner, baginya dengan berkembangya
indusitri yang begitu pesat, terkadang di masa Pandemi ini, dia rasakan
industry itu seperti meneror kehidupan kita layaknya monster, motor modifikasi
itu simbul dari kegelisahannya tersebut, karya dari Ito Joyoatmojo.
Seniman Indonesia yang lama tinggal di Swiss ini meresponsnya
dengan membuat lukisan yang bertema makanan dengan microdetail. Baginya, dengan
melukiskan objek makanan secara macro, sebagai simbol untuk merespons
bahwasannya di berbagai daerah, dalam menjalankan hidup di masa pandemic,
makanan itu sangat penting. Banyak keluarga harus berjuang keras untuk
mendapatkan makanan. Karena itu, berbagi di masa pandemi sangatlah penting. ..
Made Lun Subrata menampilkan lukisan abstrak yang memperlihatkan seperti pulau
yang sesak dengan kehidupan, namun di sisi lain ada cahaya. Ini mengandung
pesan bahwa di masa yang susah ini, tentu masih ada jalan terang untuk kita
bertahan hidup.
Seniman Buyung Mentari, meresponsnya dengan lukisan batik yang
berbentuk abstrak, menyimbulkan tidak menentunya masa depan yang dia rasakan.
Made Surata meresponsnya dengan melukiskan kejayaan buah Vanila. Dulu buah
vanilla Bali adalah emas hijau yang paling bagus diekspor ke berbagai negara.
Baginya, sebagai seorang seniman dan sekaligus petani, ia ingin menyampaikan
kegelisahannya bahwa vanili Bali sudah mulai langka. Ini perlu dibudidayakan
untuk menopang kehidupan petani. Begitu juga seniman lainnya seperti Made
Astika Yasa, Putu Adi Suweca (CYX Daeng ) I Gusti Made Wisatawan, Raden Bagus
Surya, meresponsnya dengan karya lukisan dengan mix media untuk mengungkapan
kegelisahanya tentang masalah COVID-19 yang kronis tersebut. Tentu dengan
kegiatan kreatif ini, kita bisa release suasana hati yang sumpek, sebagai
curahan jiwa yang serba terbatas. (*)
0 comments:
Post a Comment