Monday, 11 February 2019

Pohon Curiga



lukisan karya Ngurah Pandji 
Oleh : I Ketut Sandika
Lukisan ini sangat detail, karya dari seniman muda IGede Ngurah Panji. Karya yang diberi judul Pohon Curiga. Pohon ini sering disebut dalam teks klasik yang bergenre ekskatologi, seperti Aji Palayon, Atma Prasangsa, Yama Tattwa dan teks klasik yang sejenis. Disebutkan dalam teks, bahwa pohon ini adalah pohon besar yang tumbuh di alam kematian yang berbuah besi dan berdaun tajam menyerupai keris. Jadi, roh yang melakukan karma buruk tertentu diikat dibatang pohon ini, sedikit roh bergerak maka daun yang tajam akan terjatuh dan menusuk sang roh, di sana roh akan merasakan sakit luar biasa.
Pohon curiga dalam lukisan ini tentunya menggambarkan hal yang lebih daripada itu. Sebuah makna filosofis tentang pohon curiga yang tidak hanya sekadar pohon kematian dan pohon dimana sang roh mengalami siksaan neraka. Pohon curiga dalam karya ini menggambarkan kedetailan dari sebuah proses berkarya dan dalam konteks ini bisa dimaknai bahwa kehidupan sesungguhnya adalah proses dari perjalan detail sang jiwa dalam setiap kelahirannya.
Bagaimana jiwa berada dalam siklus kelahiran, kehidupan dan kematiannya yang terekam dengan baik dalam setiap labirin kosa yang membungkus jiwa. Dalam kosa itu jiwa mengalami sebuah proses yang panjang sebelum sampai pada kelepasan yang sempurna. Dalam proses itulah bayang-bayang keinginan tetap mengikuti jiwa dalam kelahirannya, dan menjadi penikmat yang utuh bagi segala karma yang berakar dari keinginannya.
Oleh karenanya, pohon curiga tidak ubahnya adalah pohon keinginan yang bercabang segala hasrat inderawi yang berdaun pemenuhan dan berbuah wasana (efek karma) yang akan dinikmati jiwa. Lalu dimana pohon itu? Pohon itu ada dalam diri kita, ia tidak ada di alam kematian. Pohon keinginan yang mewujud dalam berbagai hasrat inderawi yang harus terpuaskan. Jiwa yang hinggap pada pohon pun terlalu "asik" dengan rimbunya daun pemenuhan dan memakan buahnya.
Jiwa pun terikat oleh segala keinginan itu, sehingga ia lupa akan kesejatiannya. Meskipun sesekali ia menghadap pada puncak pohon, tetapi buah-buah terlalu nikmat untuk dilahap. Pohon inipun tumbuh subur, dan semakin Jiwa terikat oleh nikmatnya yang sejatinya adalah semu.
Sebagaimana nampak pada lukisan, semestinya kita menebang pohon keinginan. Dalam arti, merendahkan segala dorongan keinginan dan mengikatnya selayaknya Pasu Pati (mengikat keinginan/mengikat sifat hewani). Pun demikian memeluk keinginan selayaknya jiwa yang sadar bahwa keiginan terlahir dari persetubuhan jiwa dengan badan ragawi. Sebagaimana pohon curiga terlahir dari pohon parijata. Dalam arti, sebagaimana keinginan terlahir dari hasrat yang selalu terpenuhi.
#rahayu
*penulis buku tantra
Dosen IHDN Denpasar


No comments:

Post a Comment