Wednesday 1 February 2017

Mari Bertutur Di Atas Bidang Segi Tiga

Oleh ; I Made Susanta Dwitanaya


Mengapa pameran yang bertajuk “REMEMOAR” dari Amarawati Art Community Tampaksiring yang digelar di Restu Bumi Gallery ini menampilkan karya karya dua dimensional dengan format segi tiga? Bukan format karya segi  empat ? Lingkaran? Dan lain sebagainya? Apakah pilihan  ini hanyalah sekedar ingin menampilkan suatu yang berbeda dari format umumnya sebuah karya dua dimensional (lukisan atau drawing)  yang memakai bidang segi empat? Selain untuk mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda atas format umum segi empat dalam sebuah karya dua dimensional, adakah  konsep yang melatar belakangi hadirnya kesepakatan untuk menampilkan karya dengan format segitiga tersebut?    


Sederetan kalimat berakhiran tanda tanya di awal tulisan ini tentu saja akan hadir dalam benak apresiator yang hadir dalam pameran ini ketika berhadapan dengan hamparan visual yang terprentasikan di atas bidang bidang segitiga pada karya masing masing peserta pameran ini.  Sebelum tulisan ini mencoba menjawab berbagai pertanyaan tersebut, ada baiknya tulisan ini juga bercerita ihwal kisah dibalik hadirnya pameran Rememoar ini. Tema pameran ini bermula dari bincang  - bincang yang terjadi antara beberapa anggota Amarawati Art Community seputar kenangan kenangan yang berkesan di  masa kecil ataupun masa remaja mereka tentang Tampaksiring. Sehingga muncul ide untuk menjadikan tema seputar kenangan atau memori tersebut sebagai sebuah tema pameran. Lantas tema tersebut digodok dan didiskusikan kemabali dalam berbagai kesempatan baik diskusi secara langsung maupun diskusi lewat media sosialsemisal group chat di masenger. Kami lalu bersepakat bahwa upaya menghadirkan tema seputar memori memori personal masing masing anggota komunitas  tentang Tampaksiring bukan semata untuk bernostalgia dan beromantisme dengan masa lalu masing masingyang sebagian besar memang menghabiskan masa kanak kanak atau remaja mereka di wilayah yang sama yakni Tampaksiring. Tentu saja harus ada  pemaknaan yang  lebih luas lagi untuk dihadirkan dari sekedar membuat ilustrasi pada buku harian atau diary masing masing.

Berbicara masa lalu,maka  kita akan berbicara pula tentang siklus waktu.  Konsep waktu dalam kosmologi Bali dikenal dengan konsep Tri Samaya atau Tri Masa yakni tiga pembagian waktu berdasarkan waktu lampau (Atita), masa kini (Nagata) dan masa depan (Wartamana). Nilai tersebut dapat dibaca lebih jauh  sebagai kearifan lokal  orang Bali dalam memaknai waktu, yang didalamnya tersirat sebuah upaya untuk bagaimana memandang masa lalu, masa kini dan masa depan sebagai sebuah rangkaian siklus yang kodrati. Adanya tiga pembagian waktu inilah yang menjadi dasar konseptual para perupa dalam Amarawati Art Community untuk menjadikan bentuk segitiga sebagai pilihan format karya karya masing masing dalam menghadirkan interpretasi soal imaji masa lalu mereka soal Tampaksiring. Menuangkan kembali memori masing masing dalam kanvas ataupun medium lainnya selayaknya aktivitas menulis sebuah memoar, ada pilihan sudut pandang atau fokus pada salah satu bagian dari kenangan personal masa kecil mereka yang paling khas atau paling berkesan bagi masing masing perupa. Berbagai memoar yang biasanya tersaji dalam bentuk catatan catatan oleh para perupa  dalam bentuk karya visual, didalamnya tentu saja tidak serta merta menghadirkan visual yang ilustratif tapi juga interpretatif  bahkan sebagian lagi simbolik.

 Menilik karya – karya yang dihadirkan para perupa terbaca ihwal keanekaragaman sudut pandang dan interpretasi mereka dalam membaca tema seputar memoar tersebut. Tema tema semisal kondisi sosial budaya, lingkungan, bahkan spiritualitas,   muncul pada masing masing bidang segitiga yang tersaji. Karya tersaji secara  interpretatif bahkan simbolik bahkan abstrak.  Keberagaman kecenderungan visual dan konten tematik dalam menginterpretasi  tentang memori  ini menunjukkan bagaimana para perupa mengambil sudut pandang dalam memaknai perihal memori yang didalanya terkait dengan waktu. Karya – karya yang ditampilkan para perupa dalam pameran ini menujukkan walaupun berpijak pada pengalaman dan memori – memori  personal mereka tentang Tampaksiring tak serta merta dibaca sebagai kesentukkan untuk berbicara tentang diri sendiri.

Melalui pemaknaan terhadap memori  lalu sembari menghayati konsep waktu yang terus bergerak dalam bentang masa lalu, masa kini dan masa depan, para perupa mencoba memaparkan berbagai refleksi soal gerak dan dinamika  kehidupan dalam laju waktu. Mereka memulai dengan mencoba bertutur soal diri dan lingkungan terdekat mereka, desa,  atau wilayah dimana mereka bertumbuh. Para perupa yang tergabung dalam Amarawati Art Community berasal dari berbagai generasi tentu  mengalami pengalaman yang berbeda beda dalam merasakan pengalaman – pengalaman atau hal hal yang mereka temui dalam masa kanak kanak mereka di Tampaksiring. Lalu apa yang bisa dibagikan pada para apresiator karya – karya mereka di ruang pameran ini? Sekedar nostalgiakah? Tentu saja bisa lebih dari itu yakni persoalan perubahan apa saja yang sudah terjadi di Tampaksiring dan sangat mungkin juga terjadi di sebagian besar wilayah di Bali. pada titik inilah ruang dialog dapat dibangun dengan lebih intim lagi antara karya dan aprsiator, sebab jika kita masih percaya pada kekuatan karya seni sebagai ruang refleksi ihwal kehidupan maka segitiga segitiga yang menghamparkan visual sebagai perwujudan atas imaji perupa dapat menjadi pemantik untuk membuka percakapan ihwal diri, masyarakat, alam, dan kehidupan itu sendiri.  



  

No comments:

Post a Comment