Oleh ; I Made Susanta Dwitanaya
Mengapa pameran
yang bertajuk “REMEMOAR” dari Amarawati Art Community Tampaksiring yang digelar
di Restu Bumi Gallery ini menampilkan karya karya dua dimensional dengan format
segi tiga? Bukan format karya segi empat
? Lingkaran? Dan lain sebagainya? Apakah pilihan ini hanyalah sekedar ingin menampilkan suatu
yang berbeda dari format umumnya sebuah karya dua dimensional (lukisan atau
drawing) yang memakai bidang segi empat?
Selain untuk mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda atas format umum segi
empat dalam sebuah karya dua dimensional, adakah konsep yang melatar belakangi hadirnya
kesepakatan untuk menampilkan karya dengan format segitiga tersebut?
Sederetan
kalimat berakhiran tanda tanya di awal tulisan ini tentu saja akan hadir dalam
benak apresiator yang hadir dalam pameran ini ketika berhadapan dengan hamparan
visual yang terprentasikan di atas bidang bidang segitiga pada karya masing
masing peserta pameran ini. Sebelum tulisan
ini mencoba menjawab berbagai pertanyaan tersebut, ada baiknya tulisan ini juga
bercerita ihwal kisah dibalik hadirnya pameran Rememoar ini. Tema pameran ini
bermula dari bincang - bincang yang
terjadi antara beberapa anggota Amarawati Art Community seputar kenangan
kenangan yang berkesan di masa kecil
ataupun masa remaja mereka tentang Tampaksiring. Sehingga muncul ide untuk
menjadikan tema seputar kenangan atau memori tersebut sebagai sebuah tema
pameran. Lantas tema tersebut digodok dan didiskusikan kemabali dalam berbagai
kesempatan baik diskusi secara langsung maupun diskusi lewat media
sosialsemisal group chat di masenger. Kami lalu bersepakat bahwa upaya
menghadirkan tema seputar memori memori personal masing masing anggota
komunitas tentang Tampaksiring bukan
semata untuk bernostalgia dan beromantisme dengan masa lalu masing masingyang
sebagian besar memang menghabiskan masa kanak kanak atau remaja mereka di
wilayah yang sama yakni Tampaksiring. Tentu saja harus ada pemaknaan yang lebih luas lagi untuk dihadirkan dari sekedar
membuat ilustrasi pada buku harian atau diary masing masing.
Berbicara masa
lalu,maka kita akan berbicara pula tentang
siklus waktu. Konsep waktu dalam
kosmologi Bali dikenal dengan konsep Tri
Samaya atau Tri Masa yakni tiga
pembagian waktu berdasarkan waktu lampau (Atita),
masa kini (Nagata) dan masa depan
(Wartamana). Nilai tersebut dapat
dibaca lebih jauh sebagai kearifan
lokal orang Bali dalam memaknai waktu,
yang didalamnya tersirat sebuah upaya untuk bagaimana memandang masa lalu, masa
kini dan masa depan sebagai sebuah rangkaian siklus yang kodrati. Adanya tiga
pembagian waktu inilah yang menjadi dasar konseptual para perupa dalam
Amarawati Art Community untuk menjadikan bentuk segitiga sebagai pilihan format
karya karya masing masing dalam menghadirkan interpretasi soal imaji masa lalu
mereka soal Tampaksiring. Menuangkan kembali memori masing masing dalam kanvas
ataupun medium lainnya selayaknya aktivitas menulis sebuah memoar, ada pilihan
sudut pandang atau fokus pada salah satu bagian dari kenangan personal masa
kecil mereka yang paling khas atau paling berkesan bagi masing masing perupa.
Berbagai memoar yang biasanya tersaji dalam bentuk catatan catatan oleh para
perupa dalam bentuk karya visual,
didalamnya tentu saja tidak serta merta menghadirkan visual yang ilustratif
tapi juga interpretatif bahkan sebagian
lagi simbolik.
Menilik karya – karya yang dihadirkan para
perupa terbaca ihwal keanekaragaman sudut pandang dan interpretasi mereka dalam
membaca tema seputar memoar tersebut. Tema tema semisal kondisi sosial budaya,
lingkungan, bahkan spiritualitas, muncul pada masing masing bidang segitiga yang
tersaji. Karya tersaji secara interpretatif bahkan simbolik bahkan abstrak. Keberagaman kecenderungan visual dan konten
tematik dalam menginterpretasi tentang
memori ini menunjukkan bagaimana para
perupa mengambil sudut pandang dalam memaknai perihal memori yang didalanya
terkait dengan waktu. Karya – karya yang ditampilkan para perupa dalam pameran
ini menujukkan walaupun berpijak pada pengalaman dan memori – memori personal mereka tentang Tampaksiring tak
serta merta dibaca sebagai kesentukkan untuk berbicara tentang diri sendiri.
Melalui
pemaknaan terhadap memori lalu sembari
menghayati konsep waktu yang terus bergerak dalam bentang masa lalu, masa kini
dan masa depan, para perupa mencoba memaparkan berbagai refleksi soal gerak dan
dinamika kehidupan dalam laju waktu.
Mereka memulai dengan mencoba bertutur soal diri dan lingkungan terdekat mereka,
desa, atau wilayah dimana mereka
bertumbuh. Para perupa yang tergabung dalam Amarawati Art Community berasal
dari berbagai generasi tentu mengalami pengalaman
yang berbeda beda dalam merasakan pengalaman – pengalaman atau hal hal yang
mereka temui dalam masa kanak kanak mereka di Tampaksiring. Lalu apa yang bisa
dibagikan pada para apresiator karya – karya mereka di ruang pameran ini?
Sekedar nostalgiakah? Tentu saja bisa lebih dari itu yakni persoalan perubahan
apa saja yang sudah terjadi di Tampaksiring dan sangat mungkin juga terjadi di
sebagian besar wilayah di Bali. pada titik inilah ruang dialog dapat dibangun
dengan lebih intim lagi antara karya dan aprsiator, sebab jika kita masih
percaya pada kekuatan karya seni sebagai ruang refleksi ihwal kehidupan maka
segitiga segitiga yang menghamparkan visual sebagai perwujudan atas imaji
perupa dapat menjadi pemantik untuk membuka percakapan ihwal diri, masyarakat,
alam, dan kehidupan itu sendiri.
No comments:
Post a Comment